Minggu, 30 November 2008

PENENTUAN BULAN QOMARIAH


Idul Adha 1429 H, Jatuh Pada Hari Senin, 8 Desember 2008
Berdasarkan informasi dari Haramain Syarifain: Dzulqa’dah digenapkan 30 hari, sehingga 1 Dzulhijjah jatuh pada hari Sabtu 29 November 2008. Wukuf di Arafah jatuh pada hari Ahad 7 Desember 2008. Dengan demikian maka hari Raya Idul Adha 1429 H jatuh pada hari Senin 8 Desember 2008.
Penentuan Awal Bulan Kamariah: Persepektif Hizbut Tahrir Indonesia
Oleh : Ahmadi (Sumber : M. Shiddiq Al-Jawi**)

Ringkasan
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memandang bahwa : 1. Penentuan awal bulan kamariyah tidaklah dilakukan kecuali dengan rukyatul hilal, baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan alat, bukan dengan hisab; 2. Rukyatul hilal yang dimaksud adalah rukyatul hilal yang berlaku global (berlaku untuk seluruh kaum muslimin), bukan rukyatul hilal yang berlaku secara lokal atau regional atas dasar konsep mathla’; 3. Khusus untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah, rukyatul hilal yang menjadi patokan adalah rukyatul hilal penguasa Makkah, bukan rukyatul hilal secara mutlak. Kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat hilal, barulah rukyat dari negeri yang lain dapat dijadikan patokan; 4. Persoalan-persoalan teknis yang terkait dengan rukyatul hilal, misalnya masalah irtifa’, hendaknya dapat diselesaikan dengan musyawarah para pakar dengan mengambil pendapat yang paling benar (shawab); 5. Tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa jika rukyat bertentangan dengan hisab maka yang diambil adalah hisab. Yang benar, yang diterima tetap adalah rukyat, selama kesaksiannya memenuhi syarat-syarat kesaksian (muslim, dan adil/tidak fasiq); 6. Diperlukan sebuah institusi politik yang dapat mempersatukan umat Islam, yaitu Khilafah, yang keputusan Khalifahnya akan dapat menghilangkan perbedaan pendapat, sesuai dengan kaidah fikih “amrul Imam yarfa’ul khilaf.” (perintah Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan pendapat).
Pengantar
Di tengah umat Islam sering terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan kamariah. Pada gilirannya ini mengakibatkan perbedaan umat dalam mengawali puasa Ramadhan, beridul Fitri, dan beridul Adha. Perbedaan tersebut dapat terjadi dalam lingkup lokal, nasional, maupun internasional, dan selisihnya kadang tidak hanya satu hari, tapi bahkan dapat sampai tiga-empat hari.[1]
Kondisi ini tentu amat memprihatinkan. Sebab puasa Ramadhan dan Idul Fitri/ Idul Adha sesungguhnya bukan sekedar fenomena ibadah ritual, melainkan juga fenomena syiar persatuan umat. Umat Islam yang sesungguhnya umat yang satu (ummatan wahidah) –termasuk dalam hal mengawali puasa dan berhari raya– akhirnya nampak tercerai berai, terpecah belah, dan tidak kompak.[2]
Namun alhamdulillah, kesadaran umat Islam untuk bersatu dalam hal penentuan awal bulan kamariah ini cukup menggembirakan. Berbagai upaya telah dilakukan dan berbagai buku telah ditulis, yang penuh dengan semangat persatuan umat.[3] Berbagai diskusi dan seminar diadakan dalam rangka menumbuhkan sikap saling memahami (tafahum) antar elemen umat Islam, sebagai modal menuju persatuan umat.
Dalam kerangka tafahum itulah, tulisan ini bertujuan memaparkan bagaimana penentuan awal bulan kamariyah menurut pandangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Secara lebih rinci, tulisan ini mempunyai 3 (tiga) tujuan sebagai berikut :
Pertama, menjelaskan metode HTI dalam penentuan awal bulan kamariyah, yaitu rukyatul hilal global.
Kedua, menjelaskan sikap HTI terhadap hisab (al-hisab al-falaki) yang digunakan dalam penentuan awal bulan kamariyah.
Ketiga, menjelaskan sikap HTI mengenai keharusan adanya institusi politik pemersatu umat (al-khilafah) untuk menyatukan umat secara global.
Rukyatul Hilal Global
HTI memandang bahwa penentuan awal bulan kamariyah (kalender hijriyah) hanya dilakukan dengan rukyatul hilal dari suatu tempat di muka bumi, baik itu dilakukan dengan mata telanjang (bil ‘ain al-bashariyah) maupun dengan alat pembesar dan pendekat, semisal teropong atau teleskop. Dengan perkataan lain, HTI memandang bahwa penentuan awal bulan kamariyah tidak dapat didasarkan pada hisab (al-hisab al-falaki). [4]
Dalam sebuah nasyrah (selebaran/leaflet), tertanggal 25 Sya’ban 1419 H (14 Desember 1998) Hizbut Tahrir menegaskan sikap resminya tersebut dengan menyatakan :
والرؤية المعتبرة هي الرؤية البصرية، ولا اعتبار للحسابات الفلكية إذا لم تثبت الرؤية بالعين البصرية، إذ لا قيمة شرعية للحسابات الفلكية في إثبات الصوم والإفطار، لأنّ السبب الشرعي للصوم أو الإفطار هو رؤية الهلال بالعين…
“Rukyat yang sah (mu’tabar) adalah rukyat dengan mata; hisab tidak dapat dijadikan dasar jika rukyat tidak terbukti dengan mata. Karena hisab tidak memiliki nilai secara syar’i dalam menetapkan puasa dan berbuka [berhari raya]. Hal ini dikarenakan sebab syar’i untuk berpuasa dan berhari raya tiada lain adalah rukyatul hilal bil ‘ain (melihat bulan sabit dengan mata)…”[5]
Mengapa HTI berpegang pada rukyatul hilal, dan bukan hisab? Karena, menurut HTI sebab syar’i (as-sabab asy-syar’i) [6] untuk berpuasa dan berhari raya tiada lain adalah rukyatul hilal bil ‘ain (melihat bulan sabit dengan mata)[7], sesuai hadits-hadits Nabi SAW. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan berbukalah kamu karena melihat dia [hilal].” (HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi no 624; An-Nasa`i no 2087).
Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda :
إذا رأيتموه فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غُمَّ عليكم فاقدروا له
“Jika kamu melihat dia (hilal) maka berpuasalah kamu, dan jika kamu melihat dia (hilal) maka berbukalah, jika pandangan kamu terhalang mendung maka perkirakanlah.”[8] (HR Bukhari no 1767; Muslim no 1799; An-Nasa`i no 2094; Ahmad no 7526).
Hadits-hadits di atas mempunyai pengertian yang jelas (sharihah ad-dalalah), bahwa sebab syar’i untuk puasa Ramadhan dan Idul Fitri tiada lain adalah rukyatul hilal.[9]
Dan rukyatul hilal yang dimaksud, dalam pandangan HTI, bukanlah rukyat lokal yang berlaku untuk satu mathla’ (mazhab Syafi’i), melainkan rukyat yang berlaku secara global, dalam arti rukyatul hilal di salah satu negeri muslim berlaku untuk kaum muslimin di negeri-negeri lain di seluruh dunia. (mazhab jumhur, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali).[10]
Hizbut Tahrir dalam masalah ini menegaskan :
وخطاب الشارع في هذه الأحاديث موجه إلى جميع المسلمين لا فرق بين شامي وحجازي ولا بين إندونيسي وعراقي، فألفاظ الأحاديث جاءت عامّة، لأن ضمير الجماعة في: (صوموا… وأفطروا) يدلّ على عموم المسلمين، وكذلك لفظ: (رؤيته) فهو اسم جنس مضاف إلى ضمير، يدلّ على رؤية الهلال من أي إنسان…
“Seruan Pembuat Hukum dalam hadits-hadits ini [seperti dua hadits di atas] diarahkan kepada seluruh kaum muslimin, tidak ada bedanya antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Irak. Sebab lafaz-lafazh hadits tersebut datang dalam bentuk umum, karena kata ganti untuk orang banyak (dhamir jama’, yakni wawu) pada hadits “shuumuu… wa afthiruu” menunjukkan umumnya kaum muslimin. Demikian pula lafazh “ru`yatihi” adalah isim jenis yang diidhafatkan kepada dhamir (kata ganti), menunjukkan rukyatul hilal dari manusia siapa pun juga dia…”[11]
Pandangan HTI ini sejalan dengan pentarjihan Imam Syaukani dalam persoalan ikhtilaful mathali’ (perbedaan mathla’), di mana Imam Syaukani menguatkan pendapat jumhur dengan berkata :
والأمر الوارد في حديث ابن عمر، لا يختص بأهل ناحية على جهة الانفراد، بل هو خطاب لكل من يصلح له من المسلمين، فالاستدلال به على لزوم رؤية أهل بلد لغيرهم من أهل البلاد، أظهر من الاستدلال به على عدم اللزوم؛ لأنه إذا رآه أهل بلد، فقد رآه المسلمون، فيلزم غيرهم ما لزمهم.
“Perintah yang terdapat dalam hadits Ibnu Umar [idza ra`iytumuuhu…] tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah secara terpisah, melainkan merupakan khithab (perintah/seruan) bagi siapa saja yang layak menerima khithab itu dari kaum muslimin. Maka beristidlal dengan hadits ini untuk mengharuskan pemberlakuan rukyat kepada penduduk negeri yang lain, adalah lebih kuat daripada beristidlal dengan hadits ini untuk tidak mengharuskannya. Sebabnya adalah jika penduduk suatu negeri telah melihat hilal, berarti kaum muslimin telah melihatnya, maka berlakulah rukyat bagi kaum muslimin apa yang berlaku bagi penduduk suatu negeri itu.” [12]
Setelah mengutip tarjih Imam Syaukani di atas, Wahbah Az-Zuhaili pun menguatkan pemberlakuan rukyat global (pendapat jumhur) sebagai berikut :
وهذا الرأي (رأي الجمهور) هو الراجح لدي توحيداً للعبادة بين المسلمين، ومنعاً من الاختلاف غير المقبول في عصرنا، ولأن إيجاب الصوم معلق بالرؤية، دون تفرقة بين الأقطار.
“Pendapat ini (yaitu pendapat jumhur) adalah lebih kuat (rajih) menurut saya, karena akan dapat menyatukan ibadah di antara kaum muslimin, dan akan dapat mencegah adanya perbedaan yang tidak dapat diterima lagi pada jaman kita sekarang. Dan juga dikarenakan kewajiban shaum terkait dengan rukyat, tanpa membeda-bedakan lagi negeri-negeri yang ada.” [13]
Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, di Mesir tahun 1966 M juga telah mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
لا عبرة باختلاف المطالع ولو تباعدت الأقاليم بشرط أن تكون مشتركة في ليلة واحدة، وهذا ينطبق على البلاد العربية كلها
“Pandangan yang menyatakan tentang adanya perbedaan mathla’ itu tidak bisa digunakan, sekalipun wilayahnya berjauhan, dengan syarat wilayah-wilayah tersebut malamnya sama. Dan, ini berlaku untuk seluruh negeri Arab.”
Majelis Fatwa al-A’la di Palestina juga mengeluarkan keputusan yang menguatkan diadopsinya pandangan tentang kesatuan mathla’ tersebut.[14]
Dengan demikian, HTI tidak dapat menerima rukyat lokal (mazhab Syafii) yang berpegang pada mathla’, yaitu daerah geografis keberlakuan rukyat.[15] Menurut mazhab Syafii, jika terbukti ada rukyat di suatu negeri, rukyat ini hanya berlaku untuk daerah-daerah yang dekat, yaitu yang masih satu mathla`, dengan kriteria satu mathla` adalah jarak 24 farsakh atau daerah sejauh 133 km. Sedangkan negeri-negeri yang jauh (di atas 133 km), tidak terikat dengan rukyat yang terbukti di negeri tersebut.[16]
Pendapat mazhab Syafii tersebut didasarkan pada hadits Kuraib, yang menjelaskan bahwa Ibnu Abbas di Madinah tidak berpegang dengan rukyat Muawiyah di Syam. Haditsnya sebagai berikut:
أن أم الفضل بعثته إلى معاوية بالشام، فقال: فقدمتُ الشام، فقضيت حاجتها، واستُهلَّ علي رمضان ُ وأنا بالشام، فرأيت الهلال ليلة الجمعة، ثم قدمتُ المدينة في آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس، ثم ذكر الهلال، فقال: متى رأيتم الهلال؟ فقلت: رأيناه ليلة الجمعة، فقال: أنت رأيتَه؟ فقلت: نعم، ورآه الناس وصاموا، وصام معاوية، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نُكْمِل ثلاثين أو نراه، فقلت: ألا نكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا، هكذا أمَرَنا رسول الله صلّى الله عليه وسلم
“Bahwa Ummu Fadhl telah mengutus dia (Kuraib) kepada Muawiyah di Sam. Dia berkata,’Maka aku tiba di Syam dan menyesaikan kebutuhan Ummu Fadhl. Ramadhan tiba dan saya ada di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat. Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan Ramadhan, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadaku, lalu dia menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, ‘Kapan kamu melihat hilal?’ Saya jawab, ‘Kami melihatnya malam Jumat.’ Dia bertanya,’Kamu melihatnya sendiri?’. Saya jawab,’Ya. Orang-orang juga melihatnya lalu mereka berpuasa dan berpuasa juga Muawiyah.’ Ibnu Abbas berkata,’Tapi kami melihatnya malam Sabtu. Maka kami tetap berpuasa hingga kami sempurnakan 30 hari atau hingga kami melihat hilal.’ Saya berkata,’Tidakkah kita mencukupkan diri dengan rukyat dan puasanya Muawiyah?’ Ibnu Abbas menjawab,’Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita.” (HR Jamaah, kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).
Menurut mazhab Syafii, Ibnu Abbas RA yang mengikuti rukyat Madinah dan tidak mengikuti rukyat Syam, yaitu dengan perkataannya “‘Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita” menjadi dalil bahwa setiap negeri mempunyai rukyat sendiri-sendiri, dan rukyat suatu negeri tidak berlaku untuk negeri yang lain, li ikhtilaf mathali (karena ada perbedaan mathla’).
HTI tidak sependapat dengan pandangan tersebut. Sebab perkataan Ibnu Abbas tersebut (‘Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita”), bukanlah hadits marfu’ (dari Nabi SAW), melainkan ijtihad pribadi dari Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhu.[17] Sedangkan ijtihad sahabat Nabi dalam pandangan HTI bukanlah dalil syar’i yang mu’tabar (sumber hukum yang bisa diterima), karena dalil syar’i yang mu’tabar dalam pandangan HTI hanyalah Al-Qur`an, As-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas.[18] Jadi, kesimpulannya, HTI dalam penentuan awal bulan kamariah, berpegang dengan rukyatul hilal global, bukan hisab, dan bukan rukyatul hilal lokal.[19]
Namun khusus untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah yang terkait dengan ibadah haji dan Idul Adha, HTI memandang bahwa rukyatul hilal yang menjadi patokan adalah rukyatul hilal penguasa Makkah, bukan rukyatul hilal dari negeri-negeri Islam yang lain. Kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat hilal, barulah rukyat dari negeri yang lain dapat dijadikan patokan.
Dalilnya adalah hadits dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali, dia berkata :
أنَّ أمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ ثُمَّ قال: عَهِدَ إلَيْنا رَسُولُ الله - صلى الله عليه وسلم - أنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ، فإنْ لم نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا
“Bahwa Amir (penguasa) Makkah berkhutbah kemudian dia berkata,”Rasulullah telah menetapkan kepada kita agar kita menjalankan manasik berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud, hadits no 2339. Imam Daruquthni berkata,”Hadits ini isnadnya muttashil dan shahih.” Lihat Sunan Ad-Daruquthni, 2/267. Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata,”Hadits ini shahih.” Lihat Al-Albani, Shahih Sunan Abu Dawud, 2/54).[20]
Lafazh hadits “an-nansuka” lebih tepat diartikan “kita menjalankan manasik haji”, bukan diartikan “an-nashuma” (kita berpuasa) sebagaimana pendapat sebagian pensyarah hadits. Memang lafazh “nusuk” berarti ibadah, sehingga mencakup di dalamnya puasa. Ibnul Atsir berkata dalam kitabnya Jami’ Al-Ushul, “Nusuk adalah ibadah, yang dimaksud di sini artinya adalah puasa.”[21] Namun terdapat hadits yang menjelaskan bahwa lafazh “nusuk” yang terkait rukyat, lebih tepat diartikan sebagai “menjalankan manasik”, bukan “berpuasa”. Dalilnya, adalah sabda Nabi SAW:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, dan laksanakan manasik kamu karena melihat hilal. Lalu jika pandanganmu tertutup mendung, maka sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika ada dua saksi yang bersaksi, maka berpuasalah dan berbukalah kamu.” (HR An-Nasa`i, no 2087).
Dalam hadits di atas terdapat lafazh “wa–nsukuu laa” (hendaklah kamu melakukan nusuk). Nusuk di sini, jika diartikan shaum, tentu tidak tepat, karena akan terjadi pengulangan yang tidak bermakna, mengingat di awal hadits sudah ada perintah berpuasa berdasar rukyat. Jadi, lafazh nusuk (an nansuka li ar-ru`yah) dalam hadits Husain bin Al-Harits Al-Jadali di atas maknanya (wallahu a’lam) adalah “menjalankan manasik haji”, bukan “berpuasa.” [22]
Hadits ini menjelaskan siapa yang mempunyai otoritas untuk menetapkan hari-hari pelaksanaan manasik haji, seperti hari Arafah, hari Nahar (Idul Adha), dan hari-hari tasyriq, yaitu Wali/Amir Makkah. Jadi Rasulullah SAW tidak menyerahkan otoritas itu kepada penduduk di luar Makkah, semisal penduduk Madinah, Najed, Bahrain, atau lainnya. Tapi Rasulullah SAW hanya memberikan kewenangan itu kepada penguasa Makkah. Pada saat tiadanya pemerintahan Islam (Khilafah) seperti sekarang, maka kewenangan itu tetap dimiliki oleh penguasa Makkah sekarang (Saudi Arabia), meski kekuasaannya tidak sesuai syariah Islam karena berbentuk kerajaan, bukan Khilafah.[23]
Jelaslah, bahwa menurut HTI, khusus untuk penetapan Idul Adha, rukyatul hilal yang dipakai patokan umat Islam seluruh dunia adalah rukyatul hilal penguasa Arab Saudi, bukan yang lain. Kemudian, sesuai hadits, jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat, barulah rukyat dari negeri-negeri yang lain dapat dijadikan patokan, selama terdapat dua saksi yang adil yang mempersaksikan terbitnya hilal bulan Dzulhijjah.
Sikap Terhadap Hisab
HTI memandang bahwa hisab tidaklah dapat digunakan untuk menetapkan awal bulan kamariyah, khususnya dalam masalah ibadah shaum Raadhan, hari raya Idul Fitri, dan Idul Adha. Setelah menjelaskan dalil-dalilnya, Syaikh Atha bin Khalil (Amir Hizbut Tahrir sekarang) menegaskan:
نقول بعدم جواز الحسابات الفلكية في الصوم والفطر بل الرؤية فقط لأنها الواردة في النصوص
“Kami berpendapat tidak boleh menggunakan hisab dalam shaum dan Idul Fitri/Idul Adha, melainkan rukyatul hilal saja [yang dibolehkan], sebab rukyat itulah yang terdapat dalam nash-nash.” [24]
Mengapa HTI hanya menggunakan rukyatul hilal dan tidak menggunakan hisab? Sebab dari pengkajian nash-nash yang ada, kita dituntut oleh Allah untuk beribadah seperti yang dituntut oleh Allah sendiri. Jika kita beribadah dengan cara yang tidak sesuai dengan tuntutan Allah, berarti kita salah, meski kita menduga kita telah berbuat baik.
Dalam hal ini, Allah telah menuntut kita untuk berpuasa dan berbuka (berhari raya) berdasarkan rukyatul hilal, dan Allah SWT telah menjadikan rukyatul hilal sebagai sebab syar’i bagi pelaksanaan shaum dan hari raya. Rasulullah SAW bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan berbukalah kamu karena melihat dia [hilal].” (HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi no 624; An-Nasa`i no 2087).
Jika misalnya kita tidak dapat melihat hilal Syawal karena tertutup awan, maka kita menyempurnakan puasa sampai 30 hari, meski pun andaikata hilal sebenarnya sudah wujud secara faktual. Syaikh Atha bin Khalil menyatakan bahwa:
من هذا يتبين أننا لا نصوم ونفطر لحقيقة الشهر بل لرؤية الهلال فإذا رأيناه صمنا وإن لَم نره: لا نَصُمْ حتى وإن كان الشهر قد بدأ فعلاً بالحساب.
“Dari sini jelaslah bahwa kita tidak berpuasa dan juga tidak berhari raya karena hakikat bulan (syahr) itu sendiri, melainkan karena rukyatul hilalnya. Maka jika kita melihat hilal, kita berpuasa. Jika tidak melihat hilal, kita tidak berpuasa hatta meskipun bulan (syahr) benar-benar telah mulai berdasarkan hisab.”[25]
Pendapat HTI bahwa hisab tidak dapat dijadikan patokan penentuan awal bulan kamariah ini adalah pendapat jumhur ulama, yakni jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah.[26]
Memang ada pendapat sebagian ulama yang membolehkan hisab sebagai penentu awal bulan kamariyah, seperti pendapat Muthrif bin Abdullah Asy-Syakhiir (tabi’in), juga pendapat Ibnu Suraij (ulama mazhab Syafii), Ibnu Qutaibah, Syaikh Muhyiddin Ibnul Arabiy, dan lain-lain.[27]
Dalil pendapat ini antara lain sabda Nabi SAW faqduruu lahu (perkirakanlah hilal ketika tidak terlihat), artinya adalah “perkirakanlah dengan ilmu hisab.” Sebab menurut Ibnu Suraij sebagaimana dinukil oleh Ibnul Arabi, khithab tersebut adalah khusus untuk orang yang menguasai ilmu ini (hisab). Sedang sabda Nabi “fa-akmilu al-iddah” (sempurnakanlah bilangan) adalah khithab umum bagi orang awam.[28]
Pendapat tersebut menurut HTI tidak tepat. Alasannya, sabda Nabi “perkirakanlah” (faqduruulah), artinya yang tepat bukanlah “hitunglah dengan ilmu hisab”, melainkan “sempurnakanlah bilangannya hingga 30 hari”. Memang hadits ini mujmal (bermakna global), sehingga dapat ditafsirkan seperti itu. Namun terdapat hadits lain yang mubayyan (mufassar), yakni bermakna terang/gamblang sehingga dapat menjelaskan maksud hadits yang mujmal. Maka yang mujmal (faqduruulah), hendaknya diartikan berdasarkan hadits yang mubayyan. Walhasil, hadits faqduruulah artinya adalah fa-akmiluu al-iddah (sempurnakanlah bilangan bulan), bukan fahsubuu (hisablah).[29]
Meskipun tidak menggunakan hisab untuk penentuan awal bulan kamariah, namun HTI berpendapat bahwa hisab dapat dipergunakan untuk keperluan ibadah lainnya, seperti penentuan waktu shalat. Hal ini dikarenakan ada perbedaan antara shaum dengan shalat. Jika shaum dikaitkan dengan rukyatul hilal sebagai sebabnya, maka shalat dikaitkan dengan “masuknya waktu” sebagai sebabnya, di mana “masuknya waktu” itu dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, seperti melihat bayangan benda atau dengan jalan hisab.[30]
Perlu ditambahkan pula, bahwa HTI tidak sepakat dengan paham yang menyatakan bahwa hisab dapat dipakai secara terbatas, yakni hanya untuk menafikan kesaksian adanya rukyatul hilal. Maksudnya, menurut paham ini, jika ada laporan kesaksian rukyatul hilal yang bertentangan perhitungan hisab, maka yang dipakai adalah hisab, bukan laporan rukyat. Sebab, menurut paham ini, hisab adalah qath’i (pasti) sedangkan kesaksian adalah zhanni (dugaan).[31]
Pendapat ini tidak diterima oleh HTI, dengan beberapa argumen. Pertama, kesaksian rukyatul hilal memang dapat ditolak, namun bukan ditolak karena bertentangan dengan hisab, melainkan karena saksinya tidak memenuhi syarat-syarat saksi, misalnya saksi itu orang kafir, atau saksi itu tidak mempunyai sifat ‘adalah (alias orang fasik). Jadi, penetapan (itsbat) kefasikan saksi dilakukan hanya berdasarkan bukti-bukti syar’i (al-bayyinat asy-syar’iyyah), bukan berdasarkan perhitungan hisab.[32] Kedua, syara’ telah menetapkan bahwa penentuan awal bulan kamariah adalah dengan rukyatul hilal (dilihatnya hilal oleh manusia di muka bumi), bukan dengan wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit). Pandangan di atas, yakni penggunaan hisab untuk menafikan kesaksian laporan rukyatul hilal, berpangkal pada satu kesalahpahaman, yakni menganggap wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit) sebagai patokan bulan baru (asy-syahr al-jadid). Padahal, bulan baru secara syar’i (bukan secara waqi’i/faktual) hanya ditetapkan berdasarkan rukyatul hilal saja, bukan berdasarkan wiladatul hilal.[33]
Karena itu, perlu kami tegaskan di sini: Pertama, bahwa hisab falaki (perhitungan astronomi), menurut kami, tidak dinyatakan oleh nas syara’, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Selain itu, juga tidak bisa ditarik, baik dengan Qiyas maupun Ijmak Sahabat. Karena itu, memasukkan hisab falaki sebagai metode dalam peribadatan (at-thariqah as-syar’iyyah fi al-’ibadat) telah menyalahi ketentuan syara’. Kedua, ilmu hisab dibangun berdasarkan asumsi lahirnya anak bulan (tawallud al-hilal). Berpijak pada asumsi ini, maka kaum muslimin di dunia Islam bagian Barat akan berpuasa sebelum kaum muslimin di bagian Timur. Di bagian Barat, bisa jadi sudah berpuasa pada hari Selasa, sementara di bagian Timur akan berpuasa pada hari Rabu. Ini benar-benar bisa terjadi, ketika anak bulan tersebut lahir setelah tengah hari pada hari Senin, misalnya. Dengan hisab, maka disimpulkan bahwa hari Selasa adalah permulaan bulan bagi kaum muslimin yang tinggal di bagian Barat, sehingga mereka pun akan berpuasa pada hari itu, jika hari itu merupakan permulaan bulan Ramadhan. Tetapi, bagi yang tinggal di Timur, tidaklah demikian. Karena, anak bulan belum lahir, sehingga puasanya pun bisa berbeda sehari. Dengan demikian, penggunaan hisab justru akan menyebabkan perpecahan kaum muslimin, baik dalam berpuasa maupun berhari raya. Ini berbeda, jika mereka mengikuti rukyatul hilal dengan wihdat al-mathali’ (kesatuan matlak).[34]
Perlu Institusi Pemersatu
HTI berpendapat bahwa perbedaan dalam penentuan awal bulan kamariyah, seperti dalam mengawali puasa dan berhari raya, tiada lain hanya salah satu masalah dari sekian banyak tumpukan masalah yang dihadapi umat Islam akibat tiadanya negara Khilafah, sebagai institusi pemersatu umat Islam. Dengan absennya Khilafah, umat Islam terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara bangsa (nation-state) yang masing-masing merasa berhak menentukan kapan puasa dan kapan berhari raya.[35]
Jika Khilafah eksis kembali (dalam waktu dekat Insya Allah), maka Khalifah yang diberi amanat untuk menjalankan hukum-hukum Allah akan dapat mengatasi perbedaan dan perpecahan umat dalam menentukan awal bulan kamariah. Sebab jika Khalifah mengadopsi satu ijtihad dari sekian ijtihad syar’i yang ada, maka hanya pendapat itulah yang wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslimin. Dengan demikian akan hilanglah perbedaan pendapat dan terwujud persatuan. Kaidah fikih menyebutkan :
أمر الإمام يرفع الخلاف في المسائل الإجتهادية
“Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah (khilafiyah).” [36]
Kesimpulan
Persoalan khilafiyah penentuan awal bulan kamariyah memang cukup kompleks, sebab di dalamnya terlibat setidaknya 3 masalah, yaitu: (1) masalah fikih, seperti penentuan dengan rukyat atau hisab, kalau pakai rukyat apakah rukyat lokal atau rukyat global, dan seterusnya, (2) masalah ilmiah (scientific), seperti ilmu astronomi yang terkait rukyatul hilal, dan (3) masalah politik, yaitu berkaitan dengan siapa pihak yang patut ditaati oleh umat dalam hal penentuan awal bulan kamariah.
Namun demikian, sekompleks apa pun persoalan yang ada, hendaknya usaha-usaha untuk menyatukan umat Islam dalam penentuan awal bulan kamariah tidak pernah berhenti dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Berbagai solusi yang ditawarkan demi persatuan umat, baik solusi jangka pendek maupun jangka panjang, hendaknya dipertimbangkan dan dikaji dengan penuh kebijaksanaan, keinsyafan, dan sikap lapang dada. Semoga Allah Azza wa Jalla memudahkan urusan ini bagi kaum muslimin. Amin. Wallahu a’lam. [ ]
= = = =
*Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional bertema “Penentuan Awal Bulan Kamariah di Indonesia Merajut Ukhuwah di Tengah Perbedaan”, diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Kamis - Ahad, 27-30 Nopember 2008, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.
**Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia.
DAFTAR BACAAN
Abdullah, Muhammad Husain, Mafahim Islamiyah, Juz II, (Beirut : Darul Bayariq), 1996
Abu Zaid, Bakar bin Abdullah, Hukmu Itsbat Awwal Asy-Syahr Al-Qamari wa Tauhid Ar-Ru`yah, www.saaid.net
Al-Baghdadi, Abdurrahman, Umatku Saatnya Bersatu Kembali : Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan, (Jakarta : Insan Citra Media Utama), 2007
Ad-Dusari, Jabar bin Shalih, Al-Hisab Awwalan, Laa Al-Marashid wa Al-Aqmar, www.saaid.net
Al-Ghumari, Ahmad bin Muhammad bin Ash-Shiddiq, Taujih Al-Anzhar li Tauhid Al-Muslimin fi Shaum wa Al-Ifthar, (Beirut : Darul KutubAl-Ilmiyah), 2006
Al-Hasun, Fahad bin Ali, Dukhul Asy-Syahr Al-Qamari Baina Ru`yah Al-Hilal wa Al-Hisab Al-Falaki, www.saaid.net
Al-Juhni, Muhammad bin Shibyan, Al-Hisab Al-Falaki Bayna Al-Qath’iyyah wa Al-Idhthirab, http://www.saaid.net/
Ash-Shuyani, Ahmad bin Abdurrahman, Ar-Ru`yah am Al-Hisab? Al-Khilaf Syarr, www.saaid.net
Al-Maliki, Samir bin Khalil, Tauhid Ru`yah Al-Hilal, www.saaid.net
Al-Muqaddam, Muhammad bin Ismail, Ru`yatul Hilal Bayna Ar-Ru`yah Asy-Syar’iyyah wa Al-Falakiyah, www.saaid.net
Al-Qaradhawi, Yusuf, Fiqh Ash-Shiyam, (Kairo : Dar Ash-Shahwah), 1992
———-, Al-Hisab Al-Falaki wa Itsbat Awa`il Asy-Syuhur, www.saaid.net
Al-Qudumi, Sami Wadi’ Abdul Fattah, Bayan Hukm Ikhtilaf Al-Mathali` wa Al-Hisab Al-Falaki, www.saaid.net
Al-Yahya, Abdul Majid bin Abdullah bin Ibrahim, Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah, www.saaid.net
An-Nabhani, Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz I, (Beirut : Darul Ummah), 2003
———-, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, (Beirut : Darul Ummah), 2005, Juz III (Ushul Fiqih).
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Awal dan Akhir Ramadhan Mengapa Harus Beda?, (Semarang : Pustaka Rizki Putra), 2002
At-Tuwaijiri, Hamud bin Abdullah, Qawathi’ Al-Adillah fi Ar-Radd ‘Ala Man ‘Awwala ‘Ala Al-Hisab al-Falaki, www.saaid.net
Azhari, Susiknan, Hisab & Rukyat Wacana Untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2007
———-, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Cetakan II (Edisi Revisi), (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2008
Az-Zarqa, Asy-Syaikh Musthafa, Limaadza Ikhtilaf Al-Hisab Al-Falaki, www.saaid.net
Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Beirut : Darul Fikr), 1990
———-, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus : Darul Fikr), 1996, Juz II
Djambek, Saadoe’ddin, Hisab Awal Bulan, (Jakarta : Tintamas), 1976
Dipaningrat, R. Moh. Wardan, Ilmu Hisab (Falak) Pendahuluan, (Yogyakarta : Toko Pandu), 1992
Haikal, Muhammad Khair, Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar`iyyah, (Beirut : Darul Bayariq), 1996
Hamidy, H. Muammal (Editor), Menuju Kesatuan Hari Raya, (Surabaya : PT Bina Ilmu), 1995
Ibrahim, Salamun, Ilmu Falak Cara Mengetahui Awal Tahun, Awal Bulan, Arah Kiblat, Musim, dan Perbedaan Waktu, (Surabaya : Pustaka Progressif), 1995
Ruskanda, H.S. Farid (dkk), Rukyah dengan Teknologi : Upaya Mencari Kesamaan Pandangan tentang Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal, (Jakarta : Gema Insani Press), 1994
———-, 100 Masalah Hisab & Rukyat, (Jakarta : Gema Insani Press), 1996
Sholeh, Moh. Rodhi, Rukyatul Hilal Tentang Penetapan Awal Ramadhan dan Syawal, (Jakarta : Pustaka Annizomiyah), 1992
Supriatna, Encup, Hisab Rukyat & Aplikasinya, Buku Satu, (Bandung : Refika Aditama), 2007
[1] Misalnya pada tahun 1989, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Tunisia, dan Bahrain mulai berpuasa Ramadhan hari Kamis 5 April 1989. Sementara itu Mesir, Yordania, Irak, Aljazair, dan Maroko mulai berpuasa pada hari Jumat 6 April 1989. Sedangkan Pakistan, India, Oman, dan Iran mulai berpuasa hari Sabtu 7 April 1989. (Al-Qudumi, t.t.:3). Pada tahun 1999, Nigeria beridul Fitri hari Jumat 6 Januari 1999, Arab Saudi dan Yordania hari Sabtu 7 Januari 1999, Mesir dan Maroko pada hari Ahad 8 Januari 1999, sedang India dan Pakistan baru pada hari Senin 9 Januari 1999. (Al-Qudumi, t.t. :3)
[2] Lihat “Mazhahir Ash-Shaum wa Al-’Ied fi ‘Ashr Al-Khilafah”, Majalah Al-Khilafah, Edisi Ramadhan 1415 H/Pebruari 1995, (Jakarta: Pusat Pengkajian Islam Strategis), hal. 5; Abdurrahman Al-Baghdadi, Umatku Saatnya Bersatu Kembali: Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan (Jakarta: Insan Citra Media Utama), 2007, hal. 3.
[3] Misalnya Syaikh Al-Ghumari menulis kitab berjudul Taujih Al-Anzhar li Tauhid Al-Muslimin fi Shaum wa Al-Ifthar (2006), Abdurrahman Al-Baghdadi menulis buku Umatku Saatnya Bersatu Kembali: Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan (2007), H. Muammal Hamidy (Ed) menulis buku Menuju Kesatuan Hari Raya (1995), Hasbi Ash Shidieqy menulis buku Awal dan Akhir Ramadhan Mengapa Harus Beda?(2002), Susiknan Azhari menulis buku Hisab & Rukyat Wacana Untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan (2007), Farid Ruskanda (dkk) menulis buku Rukyah dengan Teknologi: Upaya Mencari Kesamaan Pandangan tentang Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal (1994).
[4] Nasyrah Hizbut Tahrir, Shuumu Li Ru`yatihi wa Afthiru Li Ru`yatihi, 25 Sya’ban 1419 H (14 Dsember 1998).
[5] Ibid.
[6] Pengertian “sebab” di sini mengacu pada istilah ushul fiqih, yaitu merupakan salah satu hukum wadh’i, yang berarti sesuatu yang menjadikan terlaksananya hukum, bukan disyariatkannya hukum, seperti masuknya waktu adalah sebab pelaksanaan shalat; safar (perjalanan) adalah sebab bolehnya berbuka puasa Ramadhan, atau bolehnya mengqashar sholat; pencurian adalah sebab dilaksanakannya hukum potong tangan; tercapainya nishab adalah sebab pembayaran zakat, dan seterusnya. Maka rukyatul hilal, adalah sebab dilaksanakannya puasa Ramadhan dan beridul Fitri. Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Beirut : Darul Fikr), 1990, I/93-dst.
[7] Dengan kalimat “Rukyatul hilal bil ‘ain” , berarti menurut HTI, rukyatul hilal yang dimaksud bukanlah rukyatul hilal bil ‘ilmi (atau hisab). Lihat pendapat rukyatul hilal bil ‘ilmi dalam Susiknan Azhari, Hisab & Rukyat Wacana Untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2007, hal. 70. Kendati pun rukyah menurut bahasa secara ihtimal (kemungkinan) mengandung arti ru’yah bil bashirah (melihat dengan hati/pikiran) (Lisanul Arab, bab huruf Ra`, hal. 522), namun praktik yang ditaqrirkan oleh Nabi SAW menunjukkan bahwa rukyat yang dimaksud adalah yang dilakukan dengan mata (ru’yah bil ‘ain), bukan dengan ilmu (hisab).
[8] Yang dimaksud “perkirakanlah” (faqduruulah), bukanlah “hisablah” (hitunglah dengan ilmu hisab falaki), melainkan “sempurnakanlah bilangannya hingga 30 hari”. Memang hadits ini mujmal (bermakna global), tetapi terdapat hadits lain yang mubayyan (mufassar), yakni bermakna jelas sehingga dapat menjelaskan maksud hadits yang mujmal. Maka yang mujmal (faqduruulah), hendaknya dipahami berdasarkan hadits yang mubayyan, sehingga hadits faqduruulah artinya adalah fa-akmiluu al-iddah (sempurnakanlah bilangan bulan), bukan fahsubuu (hisablah).
[9] Muhammad Husain Abdullah, “Ru`yath Muslim Al-Hilal Sabab li Ash-Shaum wa Sabab li Al-Ifthar”, Mafahim Islamiyah, (Beirut : Darul Bayariq), 1996, Juz II, hal. 157
[10] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus : Darul Fikr), 1996, Juz II hal. 605. Dalam kitab Al-Fiqh Ala Al-Mazhahib Al-Arbaah karya Abdurrahman Al-Jaziri (I/373) disebutkan:
إذا ثبت رؤية الهلال بقطر من الأقطار وجب الصوم على سائل الأقطار، لا فرق بين القريب من جهة الثبوت والبعيد إذا بلغهم من طريق موجب للصوم. ولا عبرة باختلاف مطلع الهلال مطلقاً، عند ثلاثة من الأئمة؛ وخالف الشافعية
[11] Nasyrah Hizbut Tahrir, Shuumu Li Ru`yatihi wa Afthiru Li Ru`yatihi, 25 Sya’ban 1419 H (14 Dsember 1998).
[12] Imam Syaukani, Nailul Authar, 4/195, dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus : Darul Fikr), 1996, Juz II hal. 609.
[13] Wahbah Az-Zuhaili, ibid.,hal 609
[14] Lihat, Abu Iyas Mahmud bin ‘Abd al-Lathif ‘Uwaidhah, al-Jami’ li Ahkam as-Shiyam, Muassasah ar-Risalah, cet. I, t.t. hal 40.
[15] Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Cetakan II (Edisi Revisi), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2008, hal. 139.
[16] Wahbah Az-Zuhaili, ibid., hal. 605. Namun pengikut mazhab Syafii di Indonesia saat ini sebenarnya tidaklah berpegang pada konsep mathla’ ini. Sebab, jarak yang membentang antara ujung barat sampai ujung timur Indonesia adalah 5200 km. Jika dalam jarak 133 km ada satu mathla’, maka di Indonesia akan ada sekitar 39 mathla’. Karena kesulitan ini, maka menurut KH Sahal Mahfuzh NU harus pindah mazhab (intiqal mazhab). Sayangnya NU tidak berpindah ke mazhab jumhur, yakni satu rukyat untuk seluruh dunia, melainkan membuat “mazhab baru” yang diberi nama wilayatul hukmi. Yaitu satu rukyat berlaku untuk negara nasional yang ada sekarang. Padahal, wilayatul hukmi yang diajarkan Islam adalah satu rukyat untuk seluruh dunia di bawah pimpinan Al-Imam Al-A’zham alias Khalifah, bukan satu rukyat untuk satu negara nasional (nation-state) di bawah pimpinan penguasa sekuler seperti saat ini. Lihat Abdurrahman Al-Baghdadi, Umatku Saatnya Bersatu Kembali: Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan, (Jakarta : Insan Citra Media Utama), 2007, hal. 101.
[17] Lihat pentarjihan Imam Syaukani dalam Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus : Darul Fikr), 1996, Juz II hal. 608-609.
[18] Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, (Beirut : Darul Ummah), 2005, III, hal.67.
[19] Perlu diketahui, meski pun HT telah mengadopsi rukyatul hilal sebagai penentu awal bulan kamariah, namun HT tidak atau belum mengadosi rincian-rincian teknis yang terkait dengan rukyatul hilal, misalnya masalah irtifa’ atau ketinggian hilal yang memungkinkan terjadinya rukyah. Namun dalam masalah-masalah ilmiah yang memerlukan keahlian, HT mempunyai pedoman umum, bahwa persoalan-persoalan ilmiah (scientific) yang memerlukan keahlian, dapat diselesaikan dengan musyawarah para pakar astronomi, dengan mengambil pendapat yang paling tepat (shawab). (Lihat Taqiyuddin an-Nabhani, “Asy-Syura aw Akhdz Ar-Ra`yi fi Al-Islam”, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz I, (Beirut : Darul Ummah), 2003, hal. 246-261).
[20] Fahad bin Ali Al-Hasun, Dukhul Asy-Syahr Al-Qamari, hal. 16.
[21] Syaikh At-Tuwaijiri, dalam kitabnya Qawathi’ Al-Adillah fi Ar-Radd ‘Ala Man ‘Awwala ‘Ala Al-Hisab al-Falaki hal. 14 mengutip pendapat Ibnul Atsir dalam kitabnya Jami’ul Ushul :
قال ابن الأثير في جامع الأصول : النسك العبادة والمراد به ههنا الصوم
[22] Abdurrahman Al-Baghdadi, Umatku Saatnya Bersatu Kembali : Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan, (Jakarta : Insan Citra Media Utama), 2007, hal. 111
[23] Ibid., hal. 113.
[24] Atha bin Khalil, Al-Hisab Al-Falaki fi Ash-Shaum, 2 Syawal 1423 (25 Nopember 2003), www.hizb-ut-tahrir.info
[25] Ibid.
[26] Lihat pandangan ulama mazhab Hanafi dalam Al-Mabsuth, 3/85; Hasyiyah Ibnu Abidin, 3/316-7; pandangan ulama mazhab Maliki dalam Al-Isyraf, 1/425; Al-Istidzkar, 3/287, Mawahib Al-Jalil, 3/289; pandangan ulama mazhab Syafii dalam Al-Majmu’, 6/289-290; Raudhatut Thalibin, 2/210-211; pandangan ulama mazhab Hanbali dalam Al-Mughni, 4/338. (dikutip dari Abdul Majid bin Abdullah bin Ibrahim Al-Yahya, Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah, hal. 154).
[27] Al-Baghdadi, Abdurrahman, Umatku Saatnya Bersatu Kembali : Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan, (Jakarta: Insan Citra Media Utama), 2007, hal. 60-61; Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Ash-Shiyam, (Kairo : Dar Ash-Shahwah), 1992, hal. 26; Sami Wadi’ Abdul Fattah Al-Qudumi,, Bayan Hukm Ikhtilaf Al-Mathali` wa Al-Hisab Al-Falaki, hal. 40.
[28] Fathul Bari, 6/23, dikutip oleh Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Ash-Shiyam, (Kairo : Dar Ash-Shahwah), 1992, hal. 26.
[29] Lihat pembahasan mujmal dan mubayyan dalam kitab-kitab ushul fiqih, misalnya Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Beirut : Darul Fikr), 1990, hal. 340-341.
[30] Atha bin Khalil, Al-Hisab Al-Falaki fi Ash-Shaum, 2 Syawal 1423 (25 Nopember 2003), http://www.hizb-ut-tahrir.info/. Lihat juga Encup Supriatna, Hisab Rukyat & Aplikasinya, Buku Satu, (Bandung : Refika Aditama), 2007.
[31] Inilah pendapat Al-Qaradhawi, yang berasal dari As-Subki dalam Fatawa As-Subki, 1/219/220.
[32] Atha bin Khalil, ibid.
[33] Lihat Abu Hakim, Khatha` I’timad Al-Hisab Al-Falaki fi Nafyi Ru`yah Al-Hilal, http://www.hizb-ut-tahrir.info/.
[34] Abu Iyas Mahmud bin ‘Abd al-Lathif ‘Uwaidhah, al-Jami’ li Ahkam as-Shiyam, Muassasah ar-Risalah, cet. I, t.t. hal 44-45.
[35] Nasyrah Hizbut Tahrir, Shuumu Li Ru`yatihi wa Afthiru Li Ru`yatihi, 25 Sya’ban 1419 H (14 Dsember 1998), http://www.hizb-ut-tahrir.info/.
[36] Lihat Muhammad Khair Haikal, Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar`iyyah, (Beirut : Darul Bayariq), 1996, 1/105 dan 2/904.

Tidak ada komentar: