Senin, 10 November 2008

‘KOALISI' YANG SEHARUSNYA

Hasil sementara suara Pemilu menunjukkan bahwa partai-partai besar berhaluan nasionalis-sekular tampalnya masih akan tetap mendominasi perolehan suara. Partai-partai Islam atau yang berbasis massa Islam tampak berpeluang kecil untuk mengubah proporsi perolehan suara yang ada.

Kenyataan ini setidaknya menunjukkan dua hal: Pertama, tidak ada kenaikan yang signifikan dari perolehan suara partai-partai Islam pada Pemilu kali ini dibandingkan dengan Pemilu lima tahun sebelumnya. Kemenangan satu partai Islam hanya sekadar merupakan peralihan suara dari sejumlah partai Islam yang lain. Demikian juga yang terjadi pada partai-partai sekular. Penurunan perolehan suara PDIP, misalnya, lebih karena ia berpindah pada sejumlah partai sekular yang lain. Dengan kata lain, secara kolektif, komposisi para wakil rakyat di DPR/MPR tidak banyak berubah; partai-partai sekular tetap mendominasi partai-partai Islam, sebagaimana terjadi pada tahun 1999.

Kedua, pada Pemilu sekarang pun, ternyata kesadaran politik keislaman kaum Muslim belum mengalami peningkatan yang signifikan . Padahal, 80% lebih pemilih pada saat ini adalah Muslim. Artinya, sebagian besar kaum Muslim tetap memberikan dukungan [ wala' ]-nya kepada partai-partai sekular, ketimbang pada partai-partai Islam.

Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya arus opini pembentukan koalisi antar partai Islam dengan partai nasionalis–sekular. Jika kondisi ini terjadi maka perjuangan untuk penegakan syariat Islam, walau hanya dalam tataran nilai-nilai substansi—apalagi formalisasi syariat Islam—akan semakin kabur dan tak jelas arahnya. Sebab, adalah hal yang biasa jika ada dua buah kepentingan bersatu maka harus ada kompromi-kompromi demi mengakomodasi kepentingan masing-masing pihak. Ini tentu harus dicermati oleh kaum Muslim.

Pertanyaannya, bolehkah kita bekerjasama atau memberikan dukungan ( wala' ), dalam bentuk koalisi, kepada partai-partai sekular yang jelas-jelas mengusung ideologi kufur dan tidak pernah berniat memperjuangkan syariat Islam?

Wala' dalam Timbangan Syariat
Wala' (yang bisa dimaknai sebagai dukungan/kerjasama/pertolongan) adalah aktivitas yang secara syar‘i sudah diberikan penjelasannya secara terang dalam al-Quran. Dalam Islam, wala' hanyalah diberikan kepada orang-orang Mukmin semata. Allah SWT berfirman:

Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. (QS at-Taubah [9]: 71).

Sebaliknya, wala' tidak diberikan kepada: Pertama, orang-orang kafir, bahkan jika itu termasuk orangtua kita atau saudara kita. Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai pemimpin-pemimpin kalian, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. (QS at-Taubah [9]: 23).

Allah SWT juga berfirman:

Janganlah orang-orang Mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (pemimpin, pelindung, atau kawan penolong) dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. (QS Ali Imran [3]: 28).

Apalagi orang-orang kafir pada dasarnya selalu menaruh kebencian terhadap kaum Muslim. Allah SWT berfirman:

Telah nyata kebencian pada mulut–mulut mereka, sementara apa yang disembunyikan dalam kalbu-kalbu mereka jauh lebih besar lagi. (QS Ali Imran [3]: 118).

Kedua, orang-orang Muslim yang tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman:

Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh melakukan amar makruf nahi mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS at-Taubah [9]: 71).

Ketiga, siapapun yang menjadikan Islam sebagai bahan ejekan dan hinaan, misalnya mereka yang selama ini menganggap syariat Islam kuno dan tidak relevan untuk diterapkan saat ini. Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan sebagai kawan/penolong orang-orang yang membuat agama kalian jadi buah ejekan dan permainan. (QS al-Maidah [5]: 7).

Keempat, orang-orang fasik yang menjadikan orang-orang kafir/musyrik sebagai kawan/penolong mereka. Allah SWT berfirman:

Jika memang mereka beriman kepada Allah, Nabi (Musa), dan kepada apa yang diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrik itu menjadi penolong-penolong mereka. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasik. (QS al-Maidah [5]: 81).

Wala'-wala' Rasul
Ada sebagian kaum Muslim yang membolehkan kerjasama untuk mencari dukungan bagi penerapan syariat Islam dari kalangan selain kaum Muslim. Mereka mendasarkan argumentasinya pada tindakan Rasul pada saat Baiat Aqabah II dan ketika hendak hijrah ke Madinah, yang dipahami secara keliru sebagai bentuk wala' (kerjasama) Rasul dengan orang-orang kafir atau sebaliknya, yakni sebagai bentuk dukungan dari orang kafir atau musyrik kepada Rasul bagi penerapan syariat Islam. Benarkah demikian?

Sebetulnya, peristiwa di atas terkait dengan masalah nushrah (pertolongan/perlindungan) yang diterima Rasul. Dalam hal ini, ada 2 kategori nushrah. Pertama, yang terkait dengan perlindungan atas diri beliau dan umat Islam. Nushrah untuk kasus ini boleh diperoleh dari siapa saja, termasuk dari kaum kafir sekalipun. Abu Thalib, paman Nabi selalu menjaga beliau sekalipun tetap tidak masuk Islam. Juga Muth'im bin Adi melindungi beliau sepulang dari Ta'if.

Kedua, nushrah yang terkait dengan pelaksanaan syariat Islam. Dalam konteks ini, nushrah dimintakan Rasul kepada kepala-kepala suku (penguasa) untuk masuk Islam dan melindungi beliau serta memberikan kekuasaan kepada beliau saw. Memang benar, pada saat akan dilaksanakan Baiat Aqabah II, Rasul diantarkan oleh paman beliau, Abbas bin Abdul-Muthalib. Dalam pengantarnya, paman Rasul itu berkata, “Wahai orang-orang Khazraj, sesungguhnya posisi Muhammad di tengah kami sudah kalian ketahui. Kami sudah mencegahnya untuk tidak mengusik kaum kami dengan sesuatu yang sudah kita ketahui. Dia adalah orang yang terhormat di tengah kaumnya, dilindungi di negerinya. Bisa saja dia enggan bergabung dan berkumpul bersama kalian. Jika memang kalian berpikir untuk menyia-nyiakan dan menelantarkan dirinya setelah dia keluar dari tempatnya untuk bergabung bersama kalian, maka lebih baik biarkanlah dia sejak saat ini. Toh dia orang yang terhormat dan dilindungi di tengah kaumnya.”

Dari apa yang di ungkapkan oleh Abbas tampak jelas bahwa dukungan Abbas kepada Rasul adalah dalam rangka melindungi Rasul kalau-kalau penduduk Madinah ingkar janji dan justru melakukan perbuatan keji. Perlindungan yang ada diberikan Abbas juga lebih bersifat perlindungan atas anggota keluarga/kabilah Bani Hasyim semata; bukan sebagai bentuk koalisi atau kerjasama.

Baiat Aqabah II itu sendiri adalah wujud nushrah yang diberikan untuk tegaknya sistem Islam sekaligus permintaan agar Rasul hijrah ke Madinah. Saat itu, 75 orang wakil dari penduduk Madinah yang telah masuk Islam bersumpah setia kepada Rasul untuk melaksanakan Islam secara kâffah, menyerahkan kepemimpinan mereka kepada Rasul, serta merelakan diri untuk diatur dengan syariat Islam.

Oleh karena itu, dalam konteks sekarang, adanya koalisi antar partai Islam dengan partai berbasis nasionalis-sekular perlu dicermati: dalam rangka apa koalisi itu dibuat? Jika koalisi itu dibuat dalam rangka melegitimasi lahirnya produk UU sekuler dan terbentuknya pemerintahan sekuler, dimana tokoh partai Islam terlibat dalam pemerintahan itu, maka partai Islam telah terjebak di dalamnya. Tentu ini tidak bisa dibenarkan.

Namun jika koalisi itu adalah dalam rangka tegaknya syariat Islam, maka partai Islam harus menjelaskan Islam itu kepada partai sekuler dan mengajak mereka untuk mengubah ideologi sekuler mereka kepada ideologi Islam serta mengajak mereka untuk mengubah sistem pemerintahan sekuler yang ada menjadi sistem Islam.

Oleh karena itu, adanya koalisi-koalisi yang dibuat menjadi batu ujian bagi partai-partai Islam, apakah ia partai Islam sejati, atau sekedar imitasi. wallâhu ‘alam.

Tidak ada komentar: