Minggu, 30 November 2008

PENENTUAN BULAN QOMARIAH


Idul Adha 1429 H, Jatuh Pada Hari Senin, 8 Desember 2008
Berdasarkan informasi dari Haramain Syarifain: Dzulqa’dah digenapkan 30 hari, sehingga 1 Dzulhijjah jatuh pada hari Sabtu 29 November 2008. Wukuf di Arafah jatuh pada hari Ahad 7 Desember 2008. Dengan demikian maka hari Raya Idul Adha 1429 H jatuh pada hari Senin 8 Desember 2008.
Penentuan Awal Bulan Kamariah: Persepektif Hizbut Tahrir Indonesia
Oleh : Ahmadi (Sumber : M. Shiddiq Al-Jawi**)

Ringkasan
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memandang bahwa : 1. Penentuan awal bulan kamariyah tidaklah dilakukan kecuali dengan rukyatul hilal, baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan alat, bukan dengan hisab; 2. Rukyatul hilal yang dimaksud adalah rukyatul hilal yang berlaku global (berlaku untuk seluruh kaum muslimin), bukan rukyatul hilal yang berlaku secara lokal atau regional atas dasar konsep mathla’; 3. Khusus untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah, rukyatul hilal yang menjadi patokan adalah rukyatul hilal penguasa Makkah, bukan rukyatul hilal secara mutlak. Kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat hilal, barulah rukyat dari negeri yang lain dapat dijadikan patokan; 4. Persoalan-persoalan teknis yang terkait dengan rukyatul hilal, misalnya masalah irtifa’, hendaknya dapat diselesaikan dengan musyawarah para pakar dengan mengambil pendapat yang paling benar (shawab); 5. Tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa jika rukyat bertentangan dengan hisab maka yang diambil adalah hisab. Yang benar, yang diterima tetap adalah rukyat, selama kesaksiannya memenuhi syarat-syarat kesaksian (muslim, dan adil/tidak fasiq); 6. Diperlukan sebuah institusi politik yang dapat mempersatukan umat Islam, yaitu Khilafah, yang keputusan Khalifahnya akan dapat menghilangkan perbedaan pendapat, sesuai dengan kaidah fikih “amrul Imam yarfa’ul khilaf.” (perintah Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan pendapat).
Pengantar
Di tengah umat Islam sering terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan kamariah. Pada gilirannya ini mengakibatkan perbedaan umat dalam mengawali puasa Ramadhan, beridul Fitri, dan beridul Adha. Perbedaan tersebut dapat terjadi dalam lingkup lokal, nasional, maupun internasional, dan selisihnya kadang tidak hanya satu hari, tapi bahkan dapat sampai tiga-empat hari.[1]
Kondisi ini tentu amat memprihatinkan. Sebab puasa Ramadhan dan Idul Fitri/ Idul Adha sesungguhnya bukan sekedar fenomena ibadah ritual, melainkan juga fenomena syiar persatuan umat. Umat Islam yang sesungguhnya umat yang satu (ummatan wahidah) –termasuk dalam hal mengawali puasa dan berhari raya– akhirnya nampak tercerai berai, terpecah belah, dan tidak kompak.[2]
Namun alhamdulillah, kesadaran umat Islam untuk bersatu dalam hal penentuan awal bulan kamariah ini cukup menggembirakan. Berbagai upaya telah dilakukan dan berbagai buku telah ditulis, yang penuh dengan semangat persatuan umat.[3] Berbagai diskusi dan seminar diadakan dalam rangka menumbuhkan sikap saling memahami (tafahum) antar elemen umat Islam, sebagai modal menuju persatuan umat.
Dalam kerangka tafahum itulah, tulisan ini bertujuan memaparkan bagaimana penentuan awal bulan kamariyah menurut pandangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Secara lebih rinci, tulisan ini mempunyai 3 (tiga) tujuan sebagai berikut :
Pertama, menjelaskan metode HTI dalam penentuan awal bulan kamariyah, yaitu rukyatul hilal global.
Kedua, menjelaskan sikap HTI terhadap hisab (al-hisab al-falaki) yang digunakan dalam penentuan awal bulan kamariyah.
Ketiga, menjelaskan sikap HTI mengenai keharusan adanya institusi politik pemersatu umat (al-khilafah) untuk menyatukan umat secara global.
Rukyatul Hilal Global
HTI memandang bahwa penentuan awal bulan kamariyah (kalender hijriyah) hanya dilakukan dengan rukyatul hilal dari suatu tempat di muka bumi, baik itu dilakukan dengan mata telanjang (bil ‘ain al-bashariyah) maupun dengan alat pembesar dan pendekat, semisal teropong atau teleskop. Dengan perkataan lain, HTI memandang bahwa penentuan awal bulan kamariyah tidak dapat didasarkan pada hisab (al-hisab al-falaki). [4]
Dalam sebuah nasyrah (selebaran/leaflet), tertanggal 25 Sya’ban 1419 H (14 Desember 1998) Hizbut Tahrir menegaskan sikap resminya tersebut dengan menyatakan :
والرؤية المعتبرة هي الرؤية البصرية، ولا اعتبار للحسابات الفلكية إذا لم تثبت الرؤية بالعين البصرية، إذ لا قيمة شرعية للحسابات الفلكية في إثبات الصوم والإفطار، لأنّ السبب الشرعي للصوم أو الإفطار هو رؤية الهلال بالعين…
“Rukyat yang sah (mu’tabar) adalah rukyat dengan mata; hisab tidak dapat dijadikan dasar jika rukyat tidak terbukti dengan mata. Karena hisab tidak memiliki nilai secara syar’i dalam menetapkan puasa dan berbuka [berhari raya]. Hal ini dikarenakan sebab syar’i untuk berpuasa dan berhari raya tiada lain adalah rukyatul hilal bil ‘ain (melihat bulan sabit dengan mata)…”[5]
Mengapa HTI berpegang pada rukyatul hilal, dan bukan hisab? Karena, menurut HTI sebab syar’i (as-sabab asy-syar’i) [6] untuk berpuasa dan berhari raya tiada lain adalah rukyatul hilal bil ‘ain (melihat bulan sabit dengan mata)[7], sesuai hadits-hadits Nabi SAW. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan berbukalah kamu karena melihat dia [hilal].” (HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi no 624; An-Nasa`i no 2087).
Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda :
إذا رأيتموه فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غُمَّ عليكم فاقدروا له
“Jika kamu melihat dia (hilal) maka berpuasalah kamu, dan jika kamu melihat dia (hilal) maka berbukalah, jika pandangan kamu terhalang mendung maka perkirakanlah.”[8] (HR Bukhari no 1767; Muslim no 1799; An-Nasa`i no 2094; Ahmad no 7526).
Hadits-hadits di atas mempunyai pengertian yang jelas (sharihah ad-dalalah), bahwa sebab syar’i untuk puasa Ramadhan dan Idul Fitri tiada lain adalah rukyatul hilal.[9]
Dan rukyatul hilal yang dimaksud, dalam pandangan HTI, bukanlah rukyat lokal yang berlaku untuk satu mathla’ (mazhab Syafi’i), melainkan rukyat yang berlaku secara global, dalam arti rukyatul hilal di salah satu negeri muslim berlaku untuk kaum muslimin di negeri-negeri lain di seluruh dunia. (mazhab jumhur, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali).[10]
Hizbut Tahrir dalam masalah ini menegaskan :
وخطاب الشارع في هذه الأحاديث موجه إلى جميع المسلمين لا فرق بين شامي وحجازي ولا بين إندونيسي وعراقي، فألفاظ الأحاديث جاءت عامّة، لأن ضمير الجماعة في: (صوموا… وأفطروا) يدلّ على عموم المسلمين، وكذلك لفظ: (رؤيته) فهو اسم جنس مضاف إلى ضمير، يدلّ على رؤية الهلال من أي إنسان…
“Seruan Pembuat Hukum dalam hadits-hadits ini [seperti dua hadits di atas] diarahkan kepada seluruh kaum muslimin, tidak ada bedanya antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Irak. Sebab lafaz-lafazh hadits tersebut datang dalam bentuk umum, karena kata ganti untuk orang banyak (dhamir jama’, yakni wawu) pada hadits “shuumuu… wa afthiruu” menunjukkan umumnya kaum muslimin. Demikian pula lafazh “ru`yatihi” adalah isim jenis yang diidhafatkan kepada dhamir (kata ganti), menunjukkan rukyatul hilal dari manusia siapa pun juga dia…”[11]
Pandangan HTI ini sejalan dengan pentarjihan Imam Syaukani dalam persoalan ikhtilaful mathali’ (perbedaan mathla’), di mana Imam Syaukani menguatkan pendapat jumhur dengan berkata :
والأمر الوارد في حديث ابن عمر، لا يختص بأهل ناحية على جهة الانفراد، بل هو خطاب لكل من يصلح له من المسلمين، فالاستدلال به على لزوم رؤية أهل بلد لغيرهم من أهل البلاد، أظهر من الاستدلال به على عدم اللزوم؛ لأنه إذا رآه أهل بلد، فقد رآه المسلمون، فيلزم غيرهم ما لزمهم.
“Perintah yang terdapat dalam hadits Ibnu Umar [idza ra`iytumuuhu…] tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah secara terpisah, melainkan merupakan khithab (perintah/seruan) bagi siapa saja yang layak menerima khithab itu dari kaum muslimin. Maka beristidlal dengan hadits ini untuk mengharuskan pemberlakuan rukyat kepada penduduk negeri yang lain, adalah lebih kuat daripada beristidlal dengan hadits ini untuk tidak mengharuskannya. Sebabnya adalah jika penduduk suatu negeri telah melihat hilal, berarti kaum muslimin telah melihatnya, maka berlakulah rukyat bagi kaum muslimin apa yang berlaku bagi penduduk suatu negeri itu.” [12]
Setelah mengutip tarjih Imam Syaukani di atas, Wahbah Az-Zuhaili pun menguatkan pemberlakuan rukyat global (pendapat jumhur) sebagai berikut :
وهذا الرأي (رأي الجمهور) هو الراجح لدي توحيداً للعبادة بين المسلمين، ومنعاً من الاختلاف غير المقبول في عصرنا، ولأن إيجاب الصوم معلق بالرؤية، دون تفرقة بين الأقطار.
“Pendapat ini (yaitu pendapat jumhur) adalah lebih kuat (rajih) menurut saya, karena akan dapat menyatukan ibadah di antara kaum muslimin, dan akan dapat mencegah adanya perbedaan yang tidak dapat diterima lagi pada jaman kita sekarang. Dan juga dikarenakan kewajiban shaum terkait dengan rukyat, tanpa membeda-bedakan lagi negeri-negeri yang ada.” [13]
Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, di Mesir tahun 1966 M juga telah mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
لا عبرة باختلاف المطالع ولو تباعدت الأقاليم بشرط أن تكون مشتركة في ليلة واحدة، وهذا ينطبق على البلاد العربية كلها
“Pandangan yang menyatakan tentang adanya perbedaan mathla’ itu tidak bisa digunakan, sekalipun wilayahnya berjauhan, dengan syarat wilayah-wilayah tersebut malamnya sama. Dan, ini berlaku untuk seluruh negeri Arab.”
Majelis Fatwa al-A’la di Palestina juga mengeluarkan keputusan yang menguatkan diadopsinya pandangan tentang kesatuan mathla’ tersebut.[14]
Dengan demikian, HTI tidak dapat menerima rukyat lokal (mazhab Syafii) yang berpegang pada mathla’, yaitu daerah geografis keberlakuan rukyat.[15] Menurut mazhab Syafii, jika terbukti ada rukyat di suatu negeri, rukyat ini hanya berlaku untuk daerah-daerah yang dekat, yaitu yang masih satu mathla`, dengan kriteria satu mathla` adalah jarak 24 farsakh atau daerah sejauh 133 km. Sedangkan negeri-negeri yang jauh (di atas 133 km), tidak terikat dengan rukyat yang terbukti di negeri tersebut.[16]
Pendapat mazhab Syafii tersebut didasarkan pada hadits Kuraib, yang menjelaskan bahwa Ibnu Abbas di Madinah tidak berpegang dengan rukyat Muawiyah di Syam. Haditsnya sebagai berikut:
أن أم الفضل بعثته إلى معاوية بالشام، فقال: فقدمتُ الشام، فقضيت حاجتها، واستُهلَّ علي رمضان ُ وأنا بالشام، فرأيت الهلال ليلة الجمعة، ثم قدمتُ المدينة في آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس، ثم ذكر الهلال، فقال: متى رأيتم الهلال؟ فقلت: رأيناه ليلة الجمعة، فقال: أنت رأيتَه؟ فقلت: نعم، ورآه الناس وصاموا، وصام معاوية، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نُكْمِل ثلاثين أو نراه، فقلت: ألا نكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا، هكذا أمَرَنا رسول الله صلّى الله عليه وسلم
“Bahwa Ummu Fadhl telah mengutus dia (Kuraib) kepada Muawiyah di Sam. Dia berkata,’Maka aku tiba di Syam dan menyesaikan kebutuhan Ummu Fadhl. Ramadhan tiba dan saya ada di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat. Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan Ramadhan, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadaku, lalu dia menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, ‘Kapan kamu melihat hilal?’ Saya jawab, ‘Kami melihatnya malam Jumat.’ Dia bertanya,’Kamu melihatnya sendiri?’. Saya jawab,’Ya. Orang-orang juga melihatnya lalu mereka berpuasa dan berpuasa juga Muawiyah.’ Ibnu Abbas berkata,’Tapi kami melihatnya malam Sabtu. Maka kami tetap berpuasa hingga kami sempurnakan 30 hari atau hingga kami melihat hilal.’ Saya berkata,’Tidakkah kita mencukupkan diri dengan rukyat dan puasanya Muawiyah?’ Ibnu Abbas menjawab,’Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita.” (HR Jamaah, kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).
Menurut mazhab Syafii, Ibnu Abbas RA yang mengikuti rukyat Madinah dan tidak mengikuti rukyat Syam, yaitu dengan perkataannya “‘Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita” menjadi dalil bahwa setiap negeri mempunyai rukyat sendiri-sendiri, dan rukyat suatu negeri tidak berlaku untuk negeri yang lain, li ikhtilaf mathali (karena ada perbedaan mathla’).
HTI tidak sependapat dengan pandangan tersebut. Sebab perkataan Ibnu Abbas tersebut (‘Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita”), bukanlah hadits marfu’ (dari Nabi SAW), melainkan ijtihad pribadi dari Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhu.[17] Sedangkan ijtihad sahabat Nabi dalam pandangan HTI bukanlah dalil syar’i yang mu’tabar (sumber hukum yang bisa diterima), karena dalil syar’i yang mu’tabar dalam pandangan HTI hanyalah Al-Qur`an, As-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas.[18] Jadi, kesimpulannya, HTI dalam penentuan awal bulan kamariah, berpegang dengan rukyatul hilal global, bukan hisab, dan bukan rukyatul hilal lokal.[19]
Namun khusus untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah yang terkait dengan ibadah haji dan Idul Adha, HTI memandang bahwa rukyatul hilal yang menjadi patokan adalah rukyatul hilal penguasa Makkah, bukan rukyatul hilal dari negeri-negeri Islam yang lain. Kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat hilal, barulah rukyat dari negeri yang lain dapat dijadikan patokan.
Dalilnya adalah hadits dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali, dia berkata :
أنَّ أمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ ثُمَّ قال: عَهِدَ إلَيْنا رَسُولُ الله - صلى الله عليه وسلم - أنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ، فإنْ لم نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا
“Bahwa Amir (penguasa) Makkah berkhutbah kemudian dia berkata,”Rasulullah telah menetapkan kepada kita agar kita menjalankan manasik berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud, hadits no 2339. Imam Daruquthni berkata,”Hadits ini isnadnya muttashil dan shahih.” Lihat Sunan Ad-Daruquthni, 2/267. Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata,”Hadits ini shahih.” Lihat Al-Albani, Shahih Sunan Abu Dawud, 2/54).[20]
Lafazh hadits “an-nansuka” lebih tepat diartikan “kita menjalankan manasik haji”, bukan diartikan “an-nashuma” (kita berpuasa) sebagaimana pendapat sebagian pensyarah hadits. Memang lafazh “nusuk” berarti ibadah, sehingga mencakup di dalamnya puasa. Ibnul Atsir berkata dalam kitabnya Jami’ Al-Ushul, “Nusuk adalah ibadah, yang dimaksud di sini artinya adalah puasa.”[21] Namun terdapat hadits yang menjelaskan bahwa lafazh “nusuk” yang terkait rukyat, lebih tepat diartikan sebagai “menjalankan manasik”, bukan “berpuasa”. Dalilnya, adalah sabda Nabi SAW:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, dan laksanakan manasik kamu karena melihat hilal. Lalu jika pandanganmu tertutup mendung, maka sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika ada dua saksi yang bersaksi, maka berpuasalah dan berbukalah kamu.” (HR An-Nasa`i, no 2087).
Dalam hadits di atas terdapat lafazh “wa–nsukuu laa” (hendaklah kamu melakukan nusuk). Nusuk di sini, jika diartikan shaum, tentu tidak tepat, karena akan terjadi pengulangan yang tidak bermakna, mengingat di awal hadits sudah ada perintah berpuasa berdasar rukyat. Jadi, lafazh nusuk (an nansuka li ar-ru`yah) dalam hadits Husain bin Al-Harits Al-Jadali di atas maknanya (wallahu a’lam) adalah “menjalankan manasik haji”, bukan “berpuasa.” [22]
Hadits ini menjelaskan siapa yang mempunyai otoritas untuk menetapkan hari-hari pelaksanaan manasik haji, seperti hari Arafah, hari Nahar (Idul Adha), dan hari-hari tasyriq, yaitu Wali/Amir Makkah. Jadi Rasulullah SAW tidak menyerahkan otoritas itu kepada penduduk di luar Makkah, semisal penduduk Madinah, Najed, Bahrain, atau lainnya. Tapi Rasulullah SAW hanya memberikan kewenangan itu kepada penguasa Makkah. Pada saat tiadanya pemerintahan Islam (Khilafah) seperti sekarang, maka kewenangan itu tetap dimiliki oleh penguasa Makkah sekarang (Saudi Arabia), meski kekuasaannya tidak sesuai syariah Islam karena berbentuk kerajaan, bukan Khilafah.[23]
Jelaslah, bahwa menurut HTI, khusus untuk penetapan Idul Adha, rukyatul hilal yang dipakai patokan umat Islam seluruh dunia adalah rukyatul hilal penguasa Arab Saudi, bukan yang lain. Kemudian, sesuai hadits, jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat, barulah rukyat dari negeri-negeri yang lain dapat dijadikan patokan, selama terdapat dua saksi yang adil yang mempersaksikan terbitnya hilal bulan Dzulhijjah.
Sikap Terhadap Hisab
HTI memandang bahwa hisab tidaklah dapat digunakan untuk menetapkan awal bulan kamariyah, khususnya dalam masalah ibadah shaum Raadhan, hari raya Idul Fitri, dan Idul Adha. Setelah menjelaskan dalil-dalilnya, Syaikh Atha bin Khalil (Amir Hizbut Tahrir sekarang) menegaskan:
نقول بعدم جواز الحسابات الفلكية في الصوم والفطر بل الرؤية فقط لأنها الواردة في النصوص
“Kami berpendapat tidak boleh menggunakan hisab dalam shaum dan Idul Fitri/Idul Adha, melainkan rukyatul hilal saja [yang dibolehkan], sebab rukyat itulah yang terdapat dalam nash-nash.” [24]
Mengapa HTI hanya menggunakan rukyatul hilal dan tidak menggunakan hisab? Sebab dari pengkajian nash-nash yang ada, kita dituntut oleh Allah untuk beribadah seperti yang dituntut oleh Allah sendiri. Jika kita beribadah dengan cara yang tidak sesuai dengan tuntutan Allah, berarti kita salah, meski kita menduga kita telah berbuat baik.
Dalam hal ini, Allah telah menuntut kita untuk berpuasa dan berbuka (berhari raya) berdasarkan rukyatul hilal, dan Allah SWT telah menjadikan rukyatul hilal sebagai sebab syar’i bagi pelaksanaan shaum dan hari raya. Rasulullah SAW bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan berbukalah kamu karena melihat dia [hilal].” (HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi no 624; An-Nasa`i no 2087).
Jika misalnya kita tidak dapat melihat hilal Syawal karena tertutup awan, maka kita menyempurnakan puasa sampai 30 hari, meski pun andaikata hilal sebenarnya sudah wujud secara faktual. Syaikh Atha bin Khalil menyatakan bahwa:
من هذا يتبين أننا لا نصوم ونفطر لحقيقة الشهر بل لرؤية الهلال فإذا رأيناه صمنا وإن لَم نره: لا نَصُمْ حتى وإن كان الشهر قد بدأ فعلاً بالحساب.
“Dari sini jelaslah bahwa kita tidak berpuasa dan juga tidak berhari raya karena hakikat bulan (syahr) itu sendiri, melainkan karena rukyatul hilalnya. Maka jika kita melihat hilal, kita berpuasa. Jika tidak melihat hilal, kita tidak berpuasa hatta meskipun bulan (syahr) benar-benar telah mulai berdasarkan hisab.”[25]
Pendapat HTI bahwa hisab tidak dapat dijadikan patokan penentuan awal bulan kamariah ini adalah pendapat jumhur ulama, yakni jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah.[26]
Memang ada pendapat sebagian ulama yang membolehkan hisab sebagai penentu awal bulan kamariyah, seperti pendapat Muthrif bin Abdullah Asy-Syakhiir (tabi’in), juga pendapat Ibnu Suraij (ulama mazhab Syafii), Ibnu Qutaibah, Syaikh Muhyiddin Ibnul Arabiy, dan lain-lain.[27]
Dalil pendapat ini antara lain sabda Nabi SAW faqduruu lahu (perkirakanlah hilal ketika tidak terlihat), artinya adalah “perkirakanlah dengan ilmu hisab.” Sebab menurut Ibnu Suraij sebagaimana dinukil oleh Ibnul Arabi, khithab tersebut adalah khusus untuk orang yang menguasai ilmu ini (hisab). Sedang sabda Nabi “fa-akmilu al-iddah” (sempurnakanlah bilangan) adalah khithab umum bagi orang awam.[28]
Pendapat tersebut menurut HTI tidak tepat. Alasannya, sabda Nabi “perkirakanlah” (faqduruulah), artinya yang tepat bukanlah “hitunglah dengan ilmu hisab”, melainkan “sempurnakanlah bilangannya hingga 30 hari”. Memang hadits ini mujmal (bermakna global), sehingga dapat ditafsirkan seperti itu. Namun terdapat hadits lain yang mubayyan (mufassar), yakni bermakna terang/gamblang sehingga dapat menjelaskan maksud hadits yang mujmal. Maka yang mujmal (faqduruulah), hendaknya diartikan berdasarkan hadits yang mubayyan. Walhasil, hadits faqduruulah artinya adalah fa-akmiluu al-iddah (sempurnakanlah bilangan bulan), bukan fahsubuu (hisablah).[29]
Meskipun tidak menggunakan hisab untuk penentuan awal bulan kamariah, namun HTI berpendapat bahwa hisab dapat dipergunakan untuk keperluan ibadah lainnya, seperti penentuan waktu shalat. Hal ini dikarenakan ada perbedaan antara shaum dengan shalat. Jika shaum dikaitkan dengan rukyatul hilal sebagai sebabnya, maka shalat dikaitkan dengan “masuknya waktu” sebagai sebabnya, di mana “masuknya waktu” itu dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, seperti melihat bayangan benda atau dengan jalan hisab.[30]
Perlu ditambahkan pula, bahwa HTI tidak sepakat dengan paham yang menyatakan bahwa hisab dapat dipakai secara terbatas, yakni hanya untuk menafikan kesaksian adanya rukyatul hilal. Maksudnya, menurut paham ini, jika ada laporan kesaksian rukyatul hilal yang bertentangan perhitungan hisab, maka yang dipakai adalah hisab, bukan laporan rukyat. Sebab, menurut paham ini, hisab adalah qath’i (pasti) sedangkan kesaksian adalah zhanni (dugaan).[31]
Pendapat ini tidak diterima oleh HTI, dengan beberapa argumen. Pertama, kesaksian rukyatul hilal memang dapat ditolak, namun bukan ditolak karena bertentangan dengan hisab, melainkan karena saksinya tidak memenuhi syarat-syarat saksi, misalnya saksi itu orang kafir, atau saksi itu tidak mempunyai sifat ‘adalah (alias orang fasik). Jadi, penetapan (itsbat) kefasikan saksi dilakukan hanya berdasarkan bukti-bukti syar’i (al-bayyinat asy-syar’iyyah), bukan berdasarkan perhitungan hisab.[32] Kedua, syara’ telah menetapkan bahwa penentuan awal bulan kamariah adalah dengan rukyatul hilal (dilihatnya hilal oleh manusia di muka bumi), bukan dengan wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit). Pandangan di atas, yakni penggunaan hisab untuk menafikan kesaksian laporan rukyatul hilal, berpangkal pada satu kesalahpahaman, yakni menganggap wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit) sebagai patokan bulan baru (asy-syahr al-jadid). Padahal, bulan baru secara syar’i (bukan secara waqi’i/faktual) hanya ditetapkan berdasarkan rukyatul hilal saja, bukan berdasarkan wiladatul hilal.[33]
Karena itu, perlu kami tegaskan di sini: Pertama, bahwa hisab falaki (perhitungan astronomi), menurut kami, tidak dinyatakan oleh nas syara’, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Selain itu, juga tidak bisa ditarik, baik dengan Qiyas maupun Ijmak Sahabat. Karena itu, memasukkan hisab falaki sebagai metode dalam peribadatan (at-thariqah as-syar’iyyah fi al-’ibadat) telah menyalahi ketentuan syara’. Kedua, ilmu hisab dibangun berdasarkan asumsi lahirnya anak bulan (tawallud al-hilal). Berpijak pada asumsi ini, maka kaum muslimin di dunia Islam bagian Barat akan berpuasa sebelum kaum muslimin di bagian Timur. Di bagian Barat, bisa jadi sudah berpuasa pada hari Selasa, sementara di bagian Timur akan berpuasa pada hari Rabu. Ini benar-benar bisa terjadi, ketika anak bulan tersebut lahir setelah tengah hari pada hari Senin, misalnya. Dengan hisab, maka disimpulkan bahwa hari Selasa adalah permulaan bulan bagi kaum muslimin yang tinggal di bagian Barat, sehingga mereka pun akan berpuasa pada hari itu, jika hari itu merupakan permulaan bulan Ramadhan. Tetapi, bagi yang tinggal di Timur, tidaklah demikian. Karena, anak bulan belum lahir, sehingga puasanya pun bisa berbeda sehari. Dengan demikian, penggunaan hisab justru akan menyebabkan perpecahan kaum muslimin, baik dalam berpuasa maupun berhari raya. Ini berbeda, jika mereka mengikuti rukyatul hilal dengan wihdat al-mathali’ (kesatuan matlak).[34]
Perlu Institusi Pemersatu
HTI berpendapat bahwa perbedaan dalam penentuan awal bulan kamariyah, seperti dalam mengawali puasa dan berhari raya, tiada lain hanya salah satu masalah dari sekian banyak tumpukan masalah yang dihadapi umat Islam akibat tiadanya negara Khilafah, sebagai institusi pemersatu umat Islam. Dengan absennya Khilafah, umat Islam terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara bangsa (nation-state) yang masing-masing merasa berhak menentukan kapan puasa dan kapan berhari raya.[35]
Jika Khilafah eksis kembali (dalam waktu dekat Insya Allah), maka Khalifah yang diberi amanat untuk menjalankan hukum-hukum Allah akan dapat mengatasi perbedaan dan perpecahan umat dalam menentukan awal bulan kamariah. Sebab jika Khalifah mengadopsi satu ijtihad dari sekian ijtihad syar’i yang ada, maka hanya pendapat itulah yang wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslimin. Dengan demikian akan hilanglah perbedaan pendapat dan terwujud persatuan. Kaidah fikih menyebutkan :
أمر الإمام يرفع الخلاف في المسائل الإجتهادية
“Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah (khilafiyah).” [36]
Kesimpulan
Persoalan khilafiyah penentuan awal bulan kamariyah memang cukup kompleks, sebab di dalamnya terlibat setidaknya 3 masalah, yaitu: (1) masalah fikih, seperti penentuan dengan rukyat atau hisab, kalau pakai rukyat apakah rukyat lokal atau rukyat global, dan seterusnya, (2) masalah ilmiah (scientific), seperti ilmu astronomi yang terkait rukyatul hilal, dan (3) masalah politik, yaitu berkaitan dengan siapa pihak yang patut ditaati oleh umat dalam hal penentuan awal bulan kamariah.
Namun demikian, sekompleks apa pun persoalan yang ada, hendaknya usaha-usaha untuk menyatukan umat Islam dalam penentuan awal bulan kamariah tidak pernah berhenti dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Berbagai solusi yang ditawarkan demi persatuan umat, baik solusi jangka pendek maupun jangka panjang, hendaknya dipertimbangkan dan dikaji dengan penuh kebijaksanaan, keinsyafan, dan sikap lapang dada. Semoga Allah Azza wa Jalla memudahkan urusan ini bagi kaum muslimin. Amin. Wallahu a’lam. [ ]
= = = =
*Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional bertema “Penentuan Awal Bulan Kamariah di Indonesia Merajut Ukhuwah di Tengah Perbedaan”, diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Kamis - Ahad, 27-30 Nopember 2008, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.
**Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia.
DAFTAR BACAAN
Abdullah, Muhammad Husain, Mafahim Islamiyah, Juz II, (Beirut : Darul Bayariq), 1996
Abu Zaid, Bakar bin Abdullah, Hukmu Itsbat Awwal Asy-Syahr Al-Qamari wa Tauhid Ar-Ru`yah, www.saaid.net
Al-Baghdadi, Abdurrahman, Umatku Saatnya Bersatu Kembali : Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan, (Jakarta : Insan Citra Media Utama), 2007
Ad-Dusari, Jabar bin Shalih, Al-Hisab Awwalan, Laa Al-Marashid wa Al-Aqmar, www.saaid.net
Al-Ghumari, Ahmad bin Muhammad bin Ash-Shiddiq, Taujih Al-Anzhar li Tauhid Al-Muslimin fi Shaum wa Al-Ifthar, (Beirut : Darul KutubAl-Ilmiyah), 2006
Al-Hasun, Fahad bin Ali, Dukhul Asy-Syahr Al-Qamari Baina Ru`yah Al-Hilal wa Al-Hisab Al-Falaki, www.saaid.net
Al-Juhni, Muhammad bin Shibyan, Al-Hisab Al-Falaki Bayna Al-Qath’iyyah wa Al-Idhthirab, http://www.saaid.net/
Ash-Shuyani, Ahmad bin Abdurrahman, Ar-Ru`yah am Al-Hisab? Al-Khilaf Syarr, www.saaid.net
Al-Maliki, Samir bin Khalil, Tauhid Ru`yah Al-Hilal, www.saaid.net
Al-Muqaddam, Muhammad bin Ismail, Ru`yatul Hilal Bayna Ar-Ru`yah Asy-Syar’iyyah wa Al-Falakiyah, www.saaid.net
Al-Qaradhawi, Yusuf, Fiqh Ash-Shiyam, (Kairo : Dar Ash-Shahwah), 1992
———-, Al-Hisab Al-Falaki wa Itsbat Awa`il Asy-Syuhur, www.saaid.net
Al-Qudumi, Sami Wadi’ Abdul Fattah, Bayan Hukm Ikhtilaf Al-Mathali` wa Al-Hisab Al-Falaki, www.saaid.net
Al-Yahya, Abdul Majid bin Abdullah bin Ibrahim, Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah, www.saaid.net
An-Nabhani, Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz I, (Beirut : Darul Ummah), 2003
———-, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, (Beirut : Darul Ummah), 2005, Juz III (Ushul Fiqih).
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Awal dan Akhir Ramadhan Mengapa Harus Beda?, (Semarang : Pustaka Rizki Putra), 2002
At-Tuwaijiri, Hamud bin Abdullah, Qawathi’ Al-Adillah fi Ar-Radd ‘Ala Man ‘Awwala ‘Ala Al-Hisab al-Falaki, www.saaid.net
Azhari, Susiknan, Hisab & Rukyat Wacana Untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2007
———-, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Cetakan II (Edisi Revisi), (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2008
Az-Zarqa, Asy-Syaikh Musthafa, Limaadza Ikhtilaf Al-Hisab Al-Falaki, www.saaid.net
Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Beirut : Darul Fikr), 1990
———-, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus : Darul Fikr), 1996, Juz II
Djambek, Saadoe’ddin, Hisab Awal Bulan, (Jakarta : Tintamas), 1976
Dipaningrat, R. Moh. Wardan, Ilmu Hisab (Falak) Pendahuluan, (Yogyakarta : Toko Pandu), 1992
Haikal, Muhammad Khair, Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar`iyyah, (Beirut : Darul Bayariq), 1996
Hamidy, H. Muammal (Editor), Menuju Kesatuan Hari Raya, (Surabaya : PT Bina Ilmu), 1995
Ibrahim, Salamun, Ilmu Falak Cara Mengetahui Awal Tahun, Awal Bulan, Arah Kiblat, Musim, dan Perbedaan Waktu, (Surabaya : Pustaka Progressif), 1995
Ruskanda, H.S. Farid (dkk), Rukyah dengan Teknologi : Upaya Mencari Kesamaan Pandangan tentang Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal, (Jakarta : Gema Insani Press), 1994
———-, 100 Masalah Hisab & Rukyat, (Jakarta : Gema Insani Press), 1996
Sholeh, Moh. Rodhi, Rukyatul Hilal Tentang Penetapan Awal Ramadhan dan Syawal, (Jakarta : Pustaka Annizomiyah), 1992
Supriatna, Encup, Hisab Rukyat & Aplikasinya, Buku Satu, (Bandung : Refika Aditama), 2007
[1] Misalnya pada tahun 1989, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Tunisia, dan Bahrain mulai berpuasa Ramadhan hari Kamis 5 April 1989. Sementara itu Mesir, Yordania, Irak, Aljazair, dan Maroko mulai berpuasa pada hari Jumat 6 April 1989. Sedangkan Pakistan, India, Oman, dan Iran mulai berpuasa hari Sabtu 7 April 1989. (Al-Qudumi, t.t.:3). Pada tahun 1999, Nigeria beridul Fitri hari Jumat 6 Januari 1999, Arab Saudi dan Yordania hari Sabtu 7 Januari 1999, Mesir dan Maroko pada hari Ahad 8 Januari 1999, sedang India dan Pakistan baru pada hari Senin 9 Januari 1999. (Al-Qudumi, t.t. :3)
[2] Lihat “Mazhahir Ash-Shaum wa Al-’Ied fi ‘Ashr Al-Khilafah”, Majalah Al-Khilafah, Edisi Ramadhan 1415 H/Pebruari 1995, (Jakarta: Pusat Pengkajian Islam Strategis), hal. 5; Abdurrahman Al-Baghdadi, Umatku Saatnya Bersatu Kembali: Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan (Jakarta: Insan Citra Media Utama), 2007, hal. 3.
[3] Misalnya Syaikh Al-Ghumari menulis kitab berjudul Taujih Al-Anzhar li Tauhid Al-Muslimin fi Shaum wa Al-Ifthar (2006), Abdurrahman Al-Baghdadi menulis buku Umatku Saatnya Bersatu Kembali: Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan (2007), H. Muammal Hamidy (Ed) menulis buku Menuju Kesatuan Hari Raya (1995), Hasbi Ash Shidieqy menulis buku Awal dan Akhir Ramadhan Mengapa Harus Beda?(2002), Susiknan Azhari menulis buku Hisab & Rukyat Wacana Untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan (2007), Farid Ruskanda (dkk) menulis buku Rukyah dengan Teknologi: Upaya Mencari Kesamaan Pandangan tentang Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal (1994).
[4] Nasyrah Hizbut Tahrir, Shuumu Li Ru`yatihi wa Afthiru Li Ru`yatihi, 25 Sya’ban 1419 H (14 Dsember 1998).
[5] Ibid.
[6] Pengertian “sebab” di sini mengacu pada istilah ushul fiqih, yaitu merupakan salah satu hukum wadh’i, yang berarti sesuatu yang menjadikan terlaksananya hukum, bukan disyariatkannya hukum, seperti masuknya waktu adalah sebab pelaksanaan shalat; safar (perjalanan) adalah sebab bolehnya berbuka puasa Ramadhan, atau bolehnya mengqashar sholat; pencurian adalah sebab dilaksanakannya hukum potong tangan; tercapainya nishab adalah sebab pembayaran zakat, dan seterusnya. Maka rukyatul hilal, adalah sebab dilaksanakannya puasa Ramadhan dan beridul Fitri. Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Beirut : Darul Fikr), 1990, I/93-dst.
[7] Dengan kalimat “Rukyatul hilal bil ‘ain” , berarti menurut HTI, rukyatul hilal yang dimaksud bukanlah rukyatul hilal bil ‘ilmi (atau hisab). Lihat pendapat rukyatul hilal bil ‘ilmi dalam Susiknan Azhari, Hisab & Rukyat Wacana Untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2007, hal. 70. Kendati pun rukyah menurut bahasa secara ihtimal (kemungkinan) mengandung arti ru’yah bil bashirah (melihat dengan hati/pikiran) (Lisanul Arab, bab huruf Ra`, hal. 522), namun praktik yang ditaqrirkan oleh Nabi SAW menunjukkan bahwa rukyat yang dimaksud adalah yang dilakukan dengan mata (ru’yah bil ‘ain), bukan dengan ilmu (hisab).
[8] Yang dimaksud “perkirakanlah” (faqduruulah), bukanlah “hisablah” (hitunglah dengan ilmu hisab falaki), melainkan “sempurnakanlah bilangannya hingga 30 hari”. Memang hadits ini mujmal (bermakna global), tetapi terdapat hadits lain yang mubayyan (mufassar), yakni bermakna jelas sehingga dapat menjelaskan maksud hadits yang mujmal. Maka yang mujmal (faqduruulah), hendaknya dipahami berdasarkan hadits yang mubayyan, sehingga hadits faqduruulah artinya adalah fa-akmiluu al-iddah (sempurnakanlah bilangan bulan), bukan fahsubuu (hisablah).
[9] Muhammad Husain Abdullah, “Ru`yath Muslim Al-Hilal Sabab li Ash-Shaum wa Sabab li Al-Ifthar”, Mafahim Islamiyah, (Beirut : Darul Bayariq), 1996, Juz II, hal. 157
[10] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus : Darul Fikr), 1996, Juz II hal. 605. Dalam kitab Al-Fiqh Ala Al-Mazhahib Al-Arbaah karya Abdurrahman Al-Jaziri (I/373) disebutkan:
إذا ثبت رؤية الهلال بقطر من الأقطار وجب الصوم على سائل الأقطار، لا فرق بين القريب من جهة الثبوت والبعيد إذا بلغهم من طريق موجب للصوم. ولا عبرة باختلاف مطلع الهلال مطلقاً، عند ثلاثة من الأئمة؛ وخالف الشافعية
[11] Nasyrah Hizbut Tahrir, Shuumu Li Ru`yatihi wa Afthiru Li Ru`yatihi, 25 Sya’ban 1419 H (14 Dsember 1998).
[12] Imam Syaukani, Nailul Authar, 4/195, dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus : Darul Fikr), 1996, Juz II hal. 609.
[13] Wahbah Az-Zuhaili, ibid.,hal 609
[14] Lihat, Abu Iyas Mahmud bin ‘Abd al-Lathif ‘Uwaidhah, al-Jami’ li Ahkam as-Shiyam, Muassasah ar-Risalah, cet. I, t.t. hal 40.
[15] Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Cetakan II (Edisi Revisi), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2008, hal. 139.
[16] Wahbah Az-Zuhaili, ibid., hal. 605. Namun pengikut mazhab Syafii di Indonesia saat ini sebenarnya tidaklah berpegang pada konsep mathla’ ini. Sebab, jarak yang membentang antara ujung barat sampai ujung timur Indonesia adalah 5200 km. Jika dalam jarak 133 km ada satu mathla’, maka di Indonesia akan ada sekitar 39 mathla’. Karena kesulitan ini, maka menurut KH Sahal Mahfuzh NU harus pindah mazhab (intiqal mazhab). Sayangnya NU tidak berpindah ke mazhab jumhur, yakni satu rukyat untuk seluruh dunia, melainkan membuat “mazhab baru” yang diberi nama wilayatul hukmi. Yaitu satu rukyat berlaku untuk negara nasional yang ada sekarang. Padahal, wilayatul hukmi yang diajarkan Islam adalah satu rukyat untuk seluruh dunia di bawah pimpinan Al-Imam Al-A’zham alias Khalifah, bukan satu rukyat untuk satu negara nasional (nation-state) di bawah pimpinan penguasa sekuler seperti saat ini. Lihat Abdurrahman Al-Baghdadi, Umatku Saatnya Bersatu Kembali: Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan, (Jakarta : Insan Citra Media Utama), 2007, hal. 101.
[17] Lihat pentarjihan Imam Syaukani dalam Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus : Darul Fikr), 1996, Juz II hal. 608-609.
[18] Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, (Beirut : Darul Ummah), 2005, III, hal.67.
[19] Perlu diketahui, meski pun HT telah mengadopsi rukyatul hilal sebagai penentu awal bulan kamariah, namun HT tidak atau belum mengadosi rincian-rincian teknis yang terkait dengan rukyatul hilal, misalnya masalah irtifa’ atau ketinggian hilal yang memungkinkan terjadinya rukyah. Namun dalam masalah-masalah ilmiah yang memerlukan keahlian, HT mempunyai pedoman umum, bahwa persoalan-persoalan ilmiah (scientific) yang memerlukan keahlian, dapat diselesaikan dengan musyawarah para pakar astronomi, dengan mengambil pendapat yang paling tepat (shawab). (Lihat Taqiyuddin an-Nabhani, “Asy-Syura aw Akhdz Ar-Ra`yi fi Al-Islam”, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz I, (Beirut : Darul Ummah), 2003, hal. 246-261).
[20] Fahad bin Ali Al-Hasun, Dukhul Asy-Syahr Al-Qamari, hal. 16.
[21] Syaikh At-Tuwaijiri, dalam kitabnya Qawathi’ Al-Adillah fi Ar-Radd ‘Ala Man ‘Awwala ‘Ala Al-Hisab al-Falaki hal. 14 mengutip pendapat Ibnul Atsir dalam kitabnya Jami’ul Ushul :
قال ابن الأثير في جامع الأصول : النسك العبادة والمراد به ههنا الصوم
[22] Abdurrahman Al-Baghdadi, Umatku Saatnya Bersatu Kembali : Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan, (Jakarta : Insan Citra Media Utama), 2007, hal. 111
[23] Ibid., hal. 113.
[24] Atha bin Khalil, Al-Hisab Al-Falaki fi Ash-Shaum, 2 Syawal 1423 (25 Nopember 2003), www.hizb-ut-tahrir.info
[25] Ibid.
[26] Lihat pandangan ulama mazhab Hanafi dalam Al-Mabsuth, 3/85; Hasyiyah Ibnu Abidin, 3/316-7; pandangan ulama mazhab Maliki dalam Al-Isyraf, 1/425; Al-Istidzkar, 3/287, Mawahib Al-Jalil, 3/289; pandangan ulama mazhab Syafii dalam Al-Majmu’, 6/289-290; Raudhatut Thalibin, 2/210-211; pandangan ulama mazhab Hanbali dalam Al-Mughni, 4/338. (dikutip dari Abdul Majid bin Abdullah bin Ibrahim Al-Yahya, Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah, hal. 154).
[27] Al-Baghdadi, Abdurrahman, Umatku Saatnya Bersatu Kembali : Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan, (Jakarta: Insan Citra Media Utama), 2007, hal. 60-61; Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Ash-Shiyam, (Kairo : Dar Ash-Shahwah), 1992, hal. 26; Sami Wadi’ Abdul Fattah Al-Qudumi,, Bayan Hukm Ikhtilaf Al-Mathali` wa Al-Hisab Al-Falaki, hal. 40.
[28] Fathul Bari, 6/23, dikutip oleh Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Ash-Shiyam, (Kairo : Dar Ash-Shahwah), 1992, hal. 26.
[29] Lihat pembahasan mujmal dan mubayyan dalam kitab-kitab ushul fiqih, misalnya Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Beirut : Darul Fikr), 1990, hal. 340-341.
[30] Atha bin Khalil, Al-Hisab Al-Falaki fi Ash-Shaum, 2 Syawal 1423 (25 Nopember 2003), http://www.hizb-ut-tahrir.info/. Lihat juga Encup Supriatna, Hisab Rukyat & Aplikasinya, Buku Satu, (Bandung : Refika Aditama), 2007.
[31] Inilah pendapat Al-Qaradhawi, yang berasal dari As-Subki dalam Fatawa As-Subki, 1/219/220.
[32] Atha bin Khalil, ibid.
[33] Lihat Abu Hakim, Khatha` I’timad Al-Hisab Al-Falaki fi Nafyi Ru`yah Al-Hilal, http://www.hizb-ut-tahrir.info/.
[34] Abu Iyas Mahmud bin ‘Abd al-Lathif ‘Uwaidhah, al-Jami’ li Ahkam as-Shiyam, Muassasah ar-Risalah, cet. I, t.t. hal 44-45.
[35] Nasyrah Hizbut Tahrir, Shuumu Li Ru`yatihi wa Afthiru Li Ru`yatihi, 25 Sya’ban 1419 H (14 Dsember 1998), http://www.hizb-ut-tahrir.info/.
[36] Lihat Muhammad Khair Haikal, Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar`iyyah, (Beirut : Darul Bayariq), 1996, 1/105 dan 2/904.

Senin, 10 November 2008

Harga BBM Harus Turun!

[Edisi 428] Sejak satu bulan terakhir ini harga minyak mentah dunia terus mengalami penurunan drastis. Harga minyak mentah dunia yang pada 11 Juli lalu mencapai level tertinggi sebesar US$ 147,27 perbarel, pada minggu-minggu ini berada pada kisaran US$ 60–70 perbarel. (http://www.bloomberg.com/energy).

Di tengah berita turunnya harga minyak ini, masyarakat kembali teringat pada kebijakan Pemerintah pada 23 Mei lalu yang menaikkan harga BBM rata-rata 27,5%, dengan alasan saat itu: harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan drastis. Naiknya harga minyak dunia saat itu bahkan menjadi alasan utama Pemerintah untuk menaikkan harga BBM di dalam negeri.

Karena itu, dengan alasan dan logika yang sama, karena harga minyak dunia terus menurun dalam sebulan terakhir ini, wajar jika banyak yang menuntut agar Pemerintah menurunkan kembali harga BBM di dalam negeri.

Namun, yang ada barulah sekadar “angin surga” berupa harapan yang disampaikan oleh Presiden, bahwa Pemerintah pada saatnya akan menurunkan harga BBM. Wapres Yusuf Kalla menegaskan, Pemerintah baru bisa menurunkan harga BBM tahun 2009 apabila harga minyak mentah dunia rata-rata di bawah US$ 80 perbarel (Kompas, 1/11). Hal yang sama juga ditegaskan oleh Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro.

Para pengamat percaya, harga minyak akan cenderung pada kisaran ini atau bahkan bisa turun. Menurut Victor Shum, analis energi pada konsultan Purvin & Gertz di Singapore, harga minyak akan berada pada kisaran US$ 60–70 perbarel selama beberapa waktu ke depan (The Associated Press, 3/11). Komisaris Pertamina Mai-zar Rahman, seperti yang dikutip Harian Ekonomi Neraca, juga memperkirakan, harga minyak mentah masih akan berada di level US$ 60-70 perbarel hingga akhir tahun. Bahkan Direktur Energy Security Initiative, Charles Ebinger seperti dikutip AFP, Sabtu (1/11/2008), kemungkinan besar harga minyak dapat terus turun hingga mencapai US$ 50 perbarel pada 2009.

Kecenderungan harga minyak itu dipercaya akan bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama. Pasalnya, penurunan harga minyak itu dipengaruhi oleh lesunya perekonomian dunia akibat krisis keuangan global. Amerika yang merupakan negara pemakai minyak paling besar sedang mengalami krisis dan perekonomiannya sedang lesu. Sebagian memprediksi dampak krisis akan terasa 3-4 tahun ke depan. Akibat lesunya perekonomian AS itu, permintaan minyak mentah AS juga tidak akan mengalami kenaikan drastis, bahkan dipercaya akan stabil atau bahkan turun. Hal itu lebih menguatkan dugaan bahwa harga minyak mentah sampai akhir tahun atau bahkan hingga tahun depan belum akan mengalami kenaikan drastis.

Dari sisi penawaran, OPEC berusaha menurunkan penawaran dengan memangkas produksinya sebanyak 1,5 juta barel perhari dan berlaku efektif sejak 1 November. Namun, upaya itu diperkirakan tak banyak membantu memulihkan harga. Penurunan harga minyak mentah terjadi akibat kekhawatiran krisis ekonomi yang diperkirakan akan memukul permintaan minyak dunia. Penguatan dolar AS yang cukup tajam atas Euro juga memberi andil bagi kemerosotan harga minyak.

Dengan semua itu maka desakan agar harga BBM diturunkan cukup beralasan. Lalu berapa besaran penurunan itu? Menurut Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzzeta, jika kenaikan yang lalu adalah sebesar 27,5% maka penurunannya tidak bisa sebesar itu. Menurut Kurtubi, Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES), dengan kondisi perekonomian saat ini sebenarnya harga BBM bersubsdi seperti premium dan solar dapat diturunkan Rp1.000 perliter. Hitung-hitungannya: Harga minyak dunia turun menjadi sekitar USD63-64 perbarel. Lalu nilai tukar rupiah adalah Rp 10.000-11.000 per USD. Jadi, biaya pokok BBM adalah Rp 5.000,-. “Singkat cerita, jika dihitung, saya pikir, turun Rp 1.000 merupakan hal yang wajar,” ujarnya (Okezone.com).

Menurut seorang pejabat Departemen ESDM yang tidak disebut namanya, penurunan harga BBM diperkirakan pada kisaran 10%-18 %. Dengan kisaran itu, Premium oktan 88 bisa dijual dengan harga Rp 4.920,- hingga Rp 5.400,- perliter dan solar Rp 4.510 hingga Rp 4.950 perliter (Bisnis.com, 3/11).

Memang, harga BBM industri sendiri sudah diturunkan oleh pihak Pertamina. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina (Persero) No. Kpts-184/F00000/2008-S3 tanggal 30 Oktober 2008 tentang Harga Jual Keekonomian BBM Pertamina disebutkan harga premium turun 18%. Dengan harga baru itu, sejak 1 November BBM non-subsidi jenis premium oktan 88 dijual oleh Pertamina dengan harga terendah Rp 5.925,- perliter (Bisnis.com).

Menurunkan harga BBM untuk industri (non-subsidi) memang penting. Namun, lebih penting lagi tentu adalah menurunkan harga BBM untuk 200 jutaan rakyat Indonesia. Apalagi jika kita melongok negara tetangga kita Malaysia, pemerintahnya juga menaikkan harga BBM pada 5 Juni 2008, sekitar dua pekan setelah Pemerintah Indonesia. Namun, pemerintah Malaysia juga telah menurunkan kembali harga BBM-nya sebanyak empat kali: pada 22 Agustus 2008; 24 September 2008, satu minggu sebelum Hari Raya Idul Fitri; 15 Oktober 2008; dan 1 November lalu. Harga Premium oktan 97 diturunkan dari 2,30 menjadi 2,15 ringgit perliter, Premium oktan 92 turun dari 2,20 menjadi 2,05 ringgit perliter.

Meski tidak bisa disamakan persis, jika pemerintah Malaysia mampu menurunkan harga BBM, mengapa Pemerintah Indonesia tidak bisa?

Harga BBM Turun, Rakyat Lega

Berdasarkan survei BI Semarang, porsi pengeluaran untuk BBM 10–40% total pengeluaran rumah tangga, atau ambil rata-ratanya 20%. Karena itu, turunnya harga BBM tentu akan mengurangi pengeluaran. Penghematan itu akan bisa dialokasikan untuk belanja atau kebutuhan lainnya. Artinya, ekonomi riil akan bergerak lebih giat.

Banyak penelitian mengungkap bahwa kenaikan harga BBM lalu berdampak pada bertambahnya jumlah orang miskin. Dengan turunnya harga BBM, pada akhirnya jumlah orang miskin setidaknya bisa direm atau bahkan mungkin berkurang.

Di samping itu, turunnya harga BBM juga sejatinya bisa menurunkan ongkos transportasi, meski hal ini harus disertai dengan kebijakan lainnya di bidang transportasi dan kendaraan umum. Dengan turunnya ongkos transportasi, biaya produksi barang dan jasa juga akan bisa turun. Dengan begitu, harga-harga barang dan kebutuhan logikanya juga akan mengalami penurunan. Seperti yang terjadi di Malaysia, dengan peran aktif pemerintahnya, berbagai jaringan supermarket dan pedagang menurunkan harga ribuan item barang. Semua itu akan berdampak positif bagi kehidupan rakyat. Sektor riil yang langsung bersentuhan dengan kehidupan rakyat pun akan bergerak lebih cepat.

Di samping itu, dengan melemahnya nilai rupiah saat ini, dikhawatirkan angka inflasi naik. Angka inflasi yang tinggi tentu saja kurang bagus bagi perekonomian dan kehidupan masyarakat. Turunnya harga BBM akan bisa mengurangi atau bahkan meredam naiknya inflasi. Dengan demikian, secara keseluruhan, harga BBM turun akan berdampak baik bagi perekonomian dan kehidupan rakyat.

Harga BBM Harus Turun!

Di negeri yang mengadopsi sistem ekonomi kapitalis ini, barang tambang, termasuk minyak, bisa dimiliki oleh individu/swasta. Kalaupun dikatakan bahwa kekayaan alam, termasuk minyak, dikuasai oleh negara, saat ini negara bertindak seperti pemilik, yang lalu memberikan kuasa pengelolaan minyak kepada swasta. Rakyat pada faktanya selalu diposisikan sebagai konsumen. Hubungan pemerintah dengan rakyat pada akhirnya mirip hubungan dagang. Karena itu, wajar jika Pemerintah (sebagai ’pedagang minyak’) seolah begitu sulit menurunkan harga BBM untuk rakyat (sebagai konsumen minyak), namun begitu mudah saat menaikkannya.

Padahal dalam sistem ekonomi Islam, kekayaan alam, termasuk minyak dan gas, telah ditetapkan oleh Allah sebagai milik umum (rakyat secara bersama-sama). Rasulullah saw. bersabda:

«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»

Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Sebagai pemilik kekayaan alam, termasuk minyak, rakyat tentu saja berhak menikmati minyak dengan harga semurah-murahnya. Tidak seharusnya harga BBM dinaikturunkan mengikuti harga pasar internasional. Sebab, rakyatlah pemilik sejati barang tambang, termasuk minyak. Negara hanya bertindak mewakili rakyat dalam mengelola minyak dan gas, sementara hasil pengelolaan itu seluruhnya dikembalikan kepada rakyat, baik secara langsung (dalam bentuk minyak dan gas gratis atau dengan harga murah untuk rakyat) maupun tidak langsung (dalam bentuk pelayanan yang bermutu dan bisa dinikmati oleh semua).

Di samping itu, dalam Islam pemerintah berkewajiban memelihara kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Rasulullah saw. bersabda:

«فَاْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Penguasa adalah pengatur dan pemelihara urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas nasib rakyat yang diurusnya (HR al-Bukhari).

Jadi, pemerintah bertanggung jawab menjadikan kehidupan rakyat menjadi mudah, ringan dan sejahtera. Sebaliknya, pemerintah tidak boleh membiarkan rakyat dihimpit dengan biaya hidup yang tinggi, hidup susah dan tak sejahtera. Jadi, apakah harga BBM harus turun? Semestinya begitu.

Wahai Kaum Muslim:

Sulitnya harga BBM turun adalah berpangkal pada sistem kapitalis yang diterapkan di negeri ini. Sistem kapitalis pulalah yang menjadikan kehidupan terasa sempit menyesakkan seperti yang dirasakan oleh kebanyakan rakyat saat ini.

Karena itu, sudah saatnya sistem kapitalis itu kita campakkan. Sudah tiba waktunya kita menerapkan Islam dan syariahnya. Tentu saja penerapan Islam dan syariahnya itu hanya bisa diwujudkan secara total dalam bingkai Khilafah Islamiyah.

Lebih dari itu, di tengah terkuaknya kerapuhan dan kebobrokan sistem kapitalis saat ini akibat krisis, masihkah kita percaya pada sistem yang rusak ini? Masih belum yakinkah kita akan keampuhan sistem Islam—yang notabene bersumber dari Allah, Zat Yang Mahatahu—dalam mensejahterakan umat manusia? Mengapa terhadap sistem kapitalis buatan manusia yang terbukti bobrok kita begitu percaya, bahkan dalam jangka waktu yang lama, sementara terhadap sistem Islam buatan Allah SWT yang pasti baik kita seolah begitu sulit percaya?

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah sistem hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50). []

Komentar alislam:

Yusuf Qardhawi Serukan Persatuan Umat Islam dan Waspadai Kristenisasi (Hidayatullah.com, 4/11/2008).

Ingat! Persatuan umat Islam hanya mungkin terwujud dalam Khilafah Islamiyah.

‘KOALISI' YANG SEHARUSNYA

Hasil sementara suara Pemilu menunjukkan bahwa partai-partai besar berhaluan nasionalis-sekular tampalnya masih akan tetap mendominasi perolehan suara. Partai-partai Islam atau yang berbasis massa Islam tampak berpeluang kecil untuk mengubah proporsi perolehan suara yang ada.

Kenyataan ini setidaknya menunjukkan dua hal: Pertama, tidak ada kenaikan yang signifikan dari perolehan suara partai-partai Islam pada Pemilu kali ini dibandingkan dengan Pemilu lima tahun sebelumnya. Kemenangan satu partai Islam hanya sekadar merupakan peralihan suara dari sejumlah partai Islam yang lain. Demikian juga yang terjadi pada partai-partai sekular. Penurunan perolehan suara PDIP, misalnya, lebih karena ia berpindah pada sejumlah partai sekular yang lain. Dengan kata lain, secara kolektif, komposisi para wakil rakyat di DPR/MPR tidak banyak berubah; partai-partai sekular tetap mendominasi partai-partai Islam, sebagaimana terjadi pada tahun 1999.

Kedua, pada Pemilu sekarang pun, ternyata kesadaran politik keislaman kaum Muslim belum mengalami peningkatan yang signifikan . Padahal, 80% lebih pemilih pada saat ini adalah Muslim. Artinya, sebagian besar kaum Muslim tetap memberikan dukungan [ wala' ]-nya kepada partai-partai sekular, ketimbang pada partai-partai Islam.

Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya arus opini pembentukan koalisi antar partai Islam dengan partai nasionalis–sekular. Jika kondisi ini terjadi maka perjuangan untuk penegakan syariat Islam, walau hanya dalam tataran nilai-nilai substansi—apalagi formalisasi syariat Islam—akan semakin kabur dan tak jelas arahnya. Sebab, adalah hal yang biasa jika ada dua buah kepentingan bersatu maka harus ada kompromi-kompromi demi mengakomodasi kepentingan masing-masing pihak. Ini tentu harus dicermati oleh kaum Muslim.

Pertanyaannya, bolehkah kita bekerjasama atau memberikan dukungan ( wala' ), dalam bentuk koalisi, kepada partai-partai sekular yang jelas-jelas mengusung ideologi kufur dan tidak pernah berniat memperjuangkan syariat Islam?

Wala' dalam Timbangan Syariat
Wala' (yang bisa dimaknai sebagai dukungan/kerjasama/pertolongan) adalah aktivitas yang secara syar‘i sudah diberikan penjelasannya secara terang dalam al-Quran. Dalam Islam, wala' hanyalah diberikan kepada orang-orang Mukmin semata. Allah SWT berfirman:

Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. (QS at-Taubah [9]: 71).

Sebaliknya, wala' tidak diberikan kepada: Pertama, orang-orang kafir, bahkan jika itu termasuk orangtua kita atau saudara kita. Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai pemimpin-pemimpin kalian, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. (QS at-Taubah [9]: 23).

Allah SWT juga berfirman:

Janganlah orang-orang Mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (pemimpin, pelindung, atau kawan penolong) dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. (QS Ali Imran [3]: 28).

Apalagi orang-orang kafir pada dasarnya selalu menaruh kebencian terhadap kaum Muslim. Allah SWT berfirman:

Telah nyata kebencian pada mulut–mulut mereka, sementara apa yang disembunyikan dalam kalbu-kalbu mereka jauh lebih besar lagi. (QS Ali Imran [3]: 118).

Kedua, orang-orang Muslim yang tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman:

Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh melakukan amar makruf nahi mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS at-Taubah [9]: 71).

Ketiga, siapapun yang menjadikan Islam sebagai bahan ejekan dan hinaan, misalnya mereka yang selama ini menganggap syariat Islam kuno dan tidak relevan untuk diterapkan saat ini. Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan sebagai kawan/penolong orang-orang yang membuat agama kalian jadi buah ejekan dan permainan. (QS al-Maidah [5]: 7).

Keempat, orang-orang fasik yang menjadikan orang-orang kafir/musyrik sebagai kawan/penolong mereka. Allah SWT berfirman:

Jika memang mereka beriman kepada Allah, Nabi (Musa), dan kepada apa yang diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrik itu menjadi penolong-penolong mereka. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasik. (QS al-Maidah [5]: 81).

Wala'-wala' Rasul
Ada sebagian kaum Muslim yang membolehkan kerjasama untuk mencari dukungan bagi penerapan syariat Islam dari kalangan selain kaum Muslim. Mereka mendasarkan argumentasinya pada tindakan Rasul pada saat Baiat Aqabah II dan ketika hendak hijrah ke Madinah, yang dipahami secara keliru sebagai bentuk wala' (kerjasama) Rasul dengan orang-orang kafir atau sebaliknya, yakni sebagai bentuk dukungan dari orang kafir atau musyrik kepada Rasul bagi penerapan syariat Islam. Benarkah demikian?

Sebetulnya, peristiwa di atas terkait dengan masalah nushrah (pertolongan/perlindungan) yang diterima Rasul. Dalam hal ini, ada 2 kategori nushrah. Pertama, yang terkait dengan perlindungan atas diri beliau dan umat Islam. Nushrah untuk kasus ini boleh diperoleh dari siapa saja, termasuk dari kaum kafir sekalipun. Abu Thalib, paman Nabi selalu menjaga beliau sekalipun tetap tidak masuk Islam. Juga Muth'im bin Adi melindungi beliau sepulang dari Ta'if.

Kedua, nushrah yang terkait dengan pelaksanaan syariat Islam. Dalam konteks ini, nushrah dimintakan Rasul kepada kepala-kepala suku (penguasa) untuk masuk Islam dan melindungi beliau serta memberikan kekuasaan kepada beliau saw. Memang benar, pada saat akan dilaksanakan Baiat Aqabah II, Rasul diantarkan oleh paman beliau, Abbas bin Abdul-Muthalib. Dalam pengantarnya, paman Rasul itu berkata, “Wahai orang-orang Khazraj, sesungguhnya posisi Muhammad di tengah kami sudah kalian ketahui. Kami sudah mencegahnya untuk tidak mengusik kaum kami dengan sesuatu yang sudah kita ketahui. Dia adalah orang yang terhormat di tengah kaumnya, dilindungi di negerinya. Bisa saja dia enggan bergabung dan berkumpul bersama kalian. Jika memang kalian berpikir untuk menyia-nyiakan dan menelantarkan dirinya setelah dia keluar dari tempatnya untuk bergabung bersama kalian, maka lebih baik biarkanlah dia sejak saat ini. Toh dia orang yang terhormat dan dilindungi di tengah kaumnya.”

Dari apa yang di ungkapkan oleh Abbas tampak jelas bahwa dukungan Abbas kepada Rasul adalah dalam rangka melindungi Rasul kalau-kalau penduduk Madinah ingkar janji dan justru melakukan perbuatan keji. Perlindungan yang ada diberikan Abbas juga lebih bersifat perlindungan atas anggota keluarga/kabilah Bani Hasyim semata; bukan sebagai bentuk koalisi atau kerjasama.

Baiat Aqabah II itu sendiri adalah wujud nushrah yang diberikan untuk tegaknya sistem Islam sekaligus permintaan agar Rasul hijrah ke Madinah. Saat itu, 75 orang wakil dari penduduk Madinah yang telah masuk Islam bersumpah setia kepada Rasul untuk melaksanakan Islam secara kâffah, menyerahkan kepemimpinan mereka kepada Rasul, serta merelakan diri untuk diatur dengan syariat Islam.

Oleh karena itu, dalam konteks sekarang, adanya koalisi antar partai Islam dengan partai berbasis nasionalis-sekular perlu dicermati: dalam rangka apa koalisi itu dibuat? Jika koalisi itu dibuat dalam rangka melegitimasi lahirnya produk UU sekuler dan terbentuknya pemerintahan sekuler, dimana tokoh partai Islam terlibat dalam pemerintahan itu, maka partai Islam telah terjebak di dalamnya. Tentu ini tidak bisa dibenarkan.

Namun jika koalisi itu adalah dalam rangka tegaknya syariat Islam, maka partai Islam harus menjelaskan Islam itu kepada partai sekuler dan mengajak mereka untuk mengubah ideologi sekuler mereka kepada ideologi Islam serta mengajak mereka untuk mengubah sistem pemerintahan sekuler yang ada menjadi sistem Islam.

Oleh karena itu, adanya koalisi-koalisi yang dibuat menjadi batu ujian bagi partai-partai Islam, apakah ia partai Islam sejati, atau sekedar imitasi. wallâhu ‘alam.

SYARIAT ISLAM DI ERA GLOBALISASI


Dalam zaman yang serba modern ini, tatanan duniapun bergeser dari manual ke digital. Dalam segi agama banyak hal-hal yang samar-samar maupun sengaja disamarkan juga ikutan berpengaruh ke tatanan yang maunya serba praktis meskipun sebenarnya tidak mendapat ridlho dan bertentangan dengan syariah.
Sebenarnya kalau kita mau berpikir simple, Islam itu sifatnya flexible dan bisa diterapkan dalam semua tatanan kehidupan sosial maupun politik. Tapi lihatlah, karena kesombongan manusia yang ingin menciptakan hukum sendiri, yang sangat bertentangan dengan akidah maupun syariah hal-hal yang sebenarnya bisa diterapkan malah dilarang dan yang mestinya dilarang malah diterapkan....
Disini kami akan memberikan masukan kepada Ikhwanul muslimin semuanya, mudah-mudahan apa yang kami sampaikan bermanfaat meskipun sedikit (mudah-mudahan banyak....) berkaitan dengan segala aspek terkini dalam kehidupan kita baik dalam aspek Sosial, Ekonomi, dan lainnya di Negara kita khususnya dan yang mempengaruhi Umat Islam pada umumnya.
Wallahu a'alam bi shawab................

Amerika harus Dilawan!

Seperti diketahui, dalam pekan-pekan terakhir ini, sebagian besar media memberitakan rencana serangan AS atas Irak. AS telah mengirimkan sekitar 200 ribu pasukannya ke Teluk. Kemungkinan besar, serangan AS atas Irak akan segera direalisasikan-dengan atau tanpa restu PBB-bulan Februari ini. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, ada kemungkinan AS menggunakan senjata nuklir untuk menghantam Irak. (Koran Tempo, 27/01/03). Jika sampai AS jadi menyerang Irak, dipastikan, sebagaimana ditulis Newsweek pekan ini, 48 ribu hingga 120 ribu orang akan kehilangan nyawanya. Sebagian besar korban tentu saja adalah rakyat Irak yang notabene mayoritas Muslim. Itu adalah jumlah korban langsung akibat perang. Sementara itu, korban tidak langsungnya dipastikan jauh lebih besar lagi. Akibat Perang Teluk tahun 1991 saja, di Irak, korban langsung yang meninggal diperkirakan berjumlah antara 100-120 ribu jiwa, termasuk 3500-12000 korban sipil. Korban tak langsungnya, yang meninggal karena penyakit yang diakibatkan perang, diperkirakan mencapai 100 ribu. Belum lagi angka kematian bayi pasca perang (1991-1994) yang meningkat 600 persen dan angka kelahiran bayi di bawah normal yang meningkat 500 persen (Koran Tempo, idem). Bahkan, menurut catatan resmi statistik pemerintah Irak, sebanyak kira-kira 1,6 juta rakyat Irak telah meninggal dunia akibat embargo ekonomi pimpinan AS yang telah berlangsung 11 tahun. (Eramuslim.com, 02/01/2003).

Sementara itu, pada saat yang sama, obsesi AS untuk membongkar jaringan terorisme pasca Tragedi 11 September telah melahirkan sejumlah kebijakan yang kian mempersempit ruang gerak warga Muslim di negara itu. Baru-baru ini, Direktur Federal Bureau of Investigation Robert Mueller telah memerintahkan kantor-kantor perwakilan FBI di 56 cabangnya untuk mendata kembali jumlah masjid yang ada di AS. Sebagai bagian dari operasi intelijen yang tak terbatas jangkauannya, FBI telah memutuskan untuk memasang alat-alat perekam di masjid-masjid. Tindakan ini, kata seorang pejabat senior FBI, untuk memerangi kejahatan terorisme dan menjaga keamanan nasional. “Dengan begitu mereka bisa memonitor setiap orang yang ada di masjid dan segala aktivitas mereka,” ujarnya. (Newsweek, 27/01/03). (FBI),

Kebijakan FBI yang merugikan kalangan Islam sebetulnya bukan kali ini saja. Paling tidak, pada Mei 2002, dengan dalih untuk mencegah serangan teroris, Jaksa Agung John Ashcroftsweeping terhadap seluruh situs Islam di AS. Bukan cuma itu, FBI juga mengawasi dengan ketat komunitas Muslim dan tempat-tempat ibadah Islam. (Eramuslim.com, 28/01/2003). langsung mengambil alih kewenangan FBI dengan menerapkan kebijakan

Fakta-fakta di atas hanyalah secuil contoh nyata yang tampak dari betapa besarnya kebencian dan sikap permusuhan AS atas Islam dan kaum Muslim. Dan kebencian yang disembunyikan di dada-dada mereka jauh lebih besar lagi.

Sikap Nyata Orang-orang Kafir
Beberapa contoh kasus di atas menunjukkan bahwa orang-orang kafir, yang antara lain dipresentasikan oleh AS, pada dasarnya senantiasa menaruh kebencian dan sikap permusuhan terhadap Islam dan kaum Muslim. Kita tahu, sejak hari pertama Peristiwa 11 September 2001, misalnya, George W. Bush-yang ditujukan kepada Dunia-telah melakukan ‘teror’ lewat pernyataannya agar Dunia memilih: berada di belakang AS atau di belakang teroris! Bush tak segan-segan menyebut tindakan balasan yang akan diambilnya sebagai ‘Crusade’ yang mengingatkan pada Perang Salib di masa lalu. Lalu, AS segera melancarkan perang membabi-buta melawan umat Islam di Afganistan. Pada saat dilancarkannya perang di Afganistan, AS yang bertindak opresif itu juga berusaha mencari sejumlah sasaran baru dalam rangka mengobarkan Perang Salib: Somalia, Sudan, Yaman, dan Irak (yang sudah diambang untuk segera diluluhlantakkan). Semua sasaran adalah negeri-negeri Islam.

Di luar itu, sejumlah bukti faktual menunjukkan bahwa perang antiterorisme yang dilancarkan AS tidak tidak lain adalah untuk menghancurkan ideologi Islam yang telah banyak disinyalir oleh para pakar Barat sendiri sebagai ancaman berikutnya bagi ideologi kapitalisme Barat-yang dikomandani AS-pasca runtuhnya komunisme.

Fakta-fakta di atas sebetulnya bukanlah sesuatu yang aneh karena Allah Swt sendiri jauh-jauh hari telah memperingatkan kita melalui firman-Nya:

Telah nyata kebencian pada mulut-mulut mereka (orang-orang kafir) dan apa yang disembunyikan di dalam dada mereka adalah jauh lebih besar lagi. (QS Ali ‘Imran [3]: 118).

Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka. Akan tetapi, Allah tidak menghendaki melainkan semakin menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. (QS at-Taubah [9]: 32).

Karena itu, dari fakta-fakta ini saja, Muslim mana pun yang jujur pasti akan mengakui bahwa AS sudah selayaknya dipandang sebagai musuh bersama kaum Muslim yang harus dilawan dan dienyahkan!

Langkah Nyata Umat Islam Saat Ini
Mencermati kenyataan di atas, kaum Muslim yang berakal sudah selayaknya menyadari bahwa apapun yang dilakukan oleh orang-orang kafir Barat dan AS terhadap mereka sudah seharusnya disikapi sebagai bentuk permusuhan. Barat dan AS tidak akan pernah ridha dengan Islam dan umatnya. Oleh karena itu, sikap yang sama-permusuhan-seharusnya ditujukan kepada mereka; bukan malah sikap ridha terhadap mereka atau berupaya meraih simpati mereka dengan cara mengorbankan harga diri dan identitas keIslaman kita.

Untuk itu, ada beberapa langkah yang harus dilakukan umat Islam saat ini. Pertama: perlunya ditanamkan kesadaran ideologis di kalangan umat Islam. Artinya, umat Islam perlu melakukan semacam “revisi” terhadap akidah yang dipeluknya. Sebab, selama ini mereka hanya memahami akidah Islam sebatas sebagai keyakinan spiritual semata, dan tidak sekaligus menjadikannya sebagai akidah politik. Akibatnya, mereka hanya responsif terhadap persoalan-persoalan ritual semata, tetapi tidak bergeming terhadap persoalan-persoalan politik, ekonomi, sosial dan sejenisnya yang mendera umat. Pada gilirannya, mereka menjadi tidak sadar dengan berbagai manuver politik maupun ekonomi yang dilakukan negara-negara besar seperti AS yang justru setiap waktu mengancam eksistensi mereka.

Kedua: Melepaskan ketergantungan-baik secara ekonomi, politik, militer-terhadap AS.

Ketiga: Menggalang rasa marah dan kebencian kaum Muslim terhadap AS dan aliansi negara-negara kafir. AS mesti dipandang sebagai musuh umat Islam yang tidak akan pernah mau menjaga eksistensi satu negeri Muslim pun. AS harus dituntut untuk bertanggung jawab atas berbagai penderitaan yang dialami oleh kaum Muslim di berbagai negeri Islam akibat imperialismenya yang sangat menjijikkan dan busuk.

Keempat: Memaksa umat Islam di berbagai negeri untuk menanggalkan ikatan-ikatan nasionalisme, patriotisme, primordialisme, sektarianisme, dan kedaerahan. Menempatkan kembali ikatan ukhuwah Islamiah pada tempatnya, menyadarkan kaum Muslim akan potensi/kekuatan mereka sebagai kekuatan yang bisa mengikat mereka, dan menyadarkan mereka bahwa salah satu sebab utama kelemahan mereka adalah karena mereka terikat oleh belenggu primordialisme, nasionalisme, keturunan, dan sektarianisme dan sejenisnya.

Kelima: Menjelaskan hakikat persoalan-persoalan hangat kaum Muslim seperti kasus Palestina, Kosovo, Irak, Sudan, Aljazair, Afghanistan, Tajikistan, Chechnya, Azerbaijan, Filipina, Indonesia, Malaysia, negeri-negeri Arab lain, dll. Semua itu dijelaskan fakta-faktanya dan solusi penyelesaiannya sesuai dengan hukum-hukum syariat.

Keenam: Selalu mengumandangkan jihad fi sabilillah dalam konteks melawan orang-orang kafir, terutama AS, yang saat ini getol memerangi Islam dan kaum Muslim secara fisik, terutama di Irak.

Ketujuh: Pengembangan opini umum tentang urgennya keberadaan Khilafah Islamiyah sebagai institusi yang akan melindungi dan mengayomi seluruh kaum Muslim. Dengan itu, umat Islam akan merasa berkepentingan untuk bersama-sama mewujudkannya dalam realitas kehidupan mereka. Sebab, hanya intitusi Khilafah Islamiyahlah-sebagaimana telah dibuktikan berabad-abad-yang mampu melindungi dan mengayomi umat Islam atas serangan dan intimidasi negara-negara kafir.

Potensi Umat Islam
Patut disadari, bahwa umat Islam saat ini memiliki potensi yang luar biasa dalam berbagai bidang, yang dapat dijadikan sarana untuk melawan hegemoni AS. Beberapa di antaranya dapat disebutkan sebagai berikut:

Pertama: Potensi Ideologis. Tidak bisa dipungkiri, Islam sebagai ideologi secara nyata bertentangan dengan ideologi kapitalisme yang diusung oleh AS. Setelah komunisme runtuh, satu-satunya musuh ideologis AS adalah Islam. Kekuatan ideologi Islam ini secara jujur diakui oleh banyak pihak. Carleton S, saat mengomentari peradaban Islam dari tahun 800 M hingga 1600 M, menyatakan, “Peradaban Islam merupakan peradaban yang paling besar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara adidaya kontinental (continental super state) yang terbentang dari satu samudera ke samudera yang lain; dari iklim Utara hingga tropis dan gurun dengan ratusan juta orang tinggal di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan asal suku.” (Ceramahnya, 26/09/01, dengan judul “Technology, Business, and Our Way of Life: What’s Next).

Bahkan, Samuel Huntington, dalam bukunya, The Clash of Civilitation and the Remaking of World Order, menulis, “Problem mendasar bagi Barat bukanlah Fundamentalisme Islam, tetapi adalah Islam sebagai sebuah peradaban yang penduduknya meyakini ketinggian kebudayaan mereka dan dihantui oleh rendahnya kekuataan mereka.”

Kedua: Potensi Geografis. Kaum Muslim secara geografis menempati posisi yang strategis jalur laut dunia. Mereka mengendalikan Selat Gibraltar di Mediterania Barat, Terusan Suez di Mediterania Timur, Selat Bab al-Mandab yang memiliki teluk-teluk kecil di Laut Merah, Selat Dardanella dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, serta Selat Hormuz di Teluk. Selat Malaka merupakan lokasi strategis di Timur Jauh. Dengan menempati posisi yang strategis ini, kebutuhan masyarakat internasional akan wilayah kaum Muslim pastilah tinggi mengingat mereka harus melewati jalur laut strategis tersebut. Kalaulah seluruh wilayah kaum Muslim bersatu di dunia di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah, mereka akan memiliki posisi geografis yang sangat menguntungkannya sebagai negara adidaya.

Ketiga: Potensi SDA. Negeri-negeri Islam dianugerahi Allah Swt sebagai negeri-negeri yang kaya-raya dengan sumberdaya alam. Negeri-negeri Islam dikenal sebagai wilayah yang subur. Sumberdaya alam kedua yang penting adalah bahan mentah. Dunia Islam mengendalikan cadangan minyak dunia (60%), boron (40%), fosfat (50%), perlite (60%), strontium (27%), dan timah ( 22%). Di antara bahan mentah tersebut, minyak memiliki posisi yang sangat strategis. Seperti kata Clemenceau pada waktu Perang Dunia I, “Setetes minyak sama nilainya dengan setetes darah prajurit kita.”

Kekuatan minyak ini pernah ditunjukkan oleh negeri-negeri Arab dalam embargo minyak tahun 1973-1974. Embargo tersebut mampu menimbulkan keguncangan ekonomi Amerika Serikat dan negara-negara Eropa saat itu.

Keempat: Potensi Jumlah Penduduk. Memang, jumlah penduduk bukanlah satu-satunya faktor pendukung kekuatan sebuah negara. Kalaulah umat Islam bersatu di seluruh dunia di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah, jumlah penduduknya tentu sangat luar biasa. Saat Dunia Islam masih “tidur” saja jumlah penduduknya lebih kurang 1 miliar atau 20% dari populasi di dunia.

Kelima: Potensi Militer. Harus diakui bahwa saat ini industri militer Dunia Islam dalam keadaan mundur bahkan mengalami ketergantungan terhadap musuh-musuhnya. Akan tetapi, secara kuantitas jumlah pasukan militer di Dunia Islam sangat besar. Seandainya, dari satu miliar penduduk Dunia Islam direkrut 1 %-nya saja akan didapat 10 juta tentara. Karena itu, dapat dibayangkan jika mobilisasi pasukan militer ini dilakukan oleh sebuah negara, apalagi negara yang bersifat internasional seperti Daulah Khilafah Islamiyah. Akan tetapi, sayang, praktis sejak perang terakhir melawan Israel tahun 70-an, pasukan militer di negeri-negeri Islam tidak pernah berperang melawan kekuatan penjajah, kecuali Irak dan Afganistan saat menghadapi serbuan AS. Sebagian besar pasukan militer di Dunia Islam justru sering digunakan oleh penguasa untuk menindas rakyatnya sendiri, bukan untuk melawan penjajah.

Khatimah
Itulah beberapa potensi besar yang dimiliki oleh umat Islam saat ini. Dengan potensi ideologis dan faktor-faktor penunjang tersebut, umat Islam berpotensi (kembali) untuk menjadi sebuah kekuatan yang sangat besar dan dahsyat, yang akan mampu mengimbangi, bahkan, menghancurkan hegemoni AS saat ini. Hal itu hanya mungkin terjadi jika kaum Muslim berada dalam satu institusi yang menjadi naungannya, yakni Daulah Khilafah Islamiyah.

Akhirnya, marilah kita renungkan janji Allah Swt:

Sesungguhnya Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih di antara kalian bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka penguasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka; dan Dia akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. (QS an-Nur [24]: 55).